30 August 2008

ventaris Ketrampilan dan Keahlian Demi Masa Depan

“Apa pekerjaan Anda?” demikian pertanyaan kenalan yang baru pertama kali saya jumpai di satu kesempatan. Biasanya, jawaban saya cukup “membingungkan”, bahkan ada satu sahabat baik saya yang sampai saat ini masih “sulit membayangkan apa sih tepatnya pekerjaan saya sehari-hari yang kelihatannya hampir tidak bekerja ini.”
Di depan laptop HP saya, biasanya saya hanya kelihatan sedang membalas e-mail atau mengetik saja. Di ruang keluarga, kelihatan saya hanya membaca buku-buku ringan dan kadang-kadang cukup lucu. Di dapur, kelihatannya saya hanya memasak saja. Di muka televisi, kelihatannya saya manggut-manggut saja ketika Oprah maupun Anderson Cooper membawakan pandangan mereka. Di akhir pekan, kelihatannya saya hanya menginap di salah satu hotel berbintang untuk “duduk mendengarkan orang lain berbicara.” Di lain kesempatan, saya hanya kelihatan seperti ngobrol dengan rekan-rekan yang mendengarkan dengan seksama. Lantas, apa sih pekerjaan saya?
Apakah kegiatan di atas adalah kegiatan ketika saya bekerja atau menikmati hidup? Jawaban saya: dua-duanya benar. Pada saat saya melakukan kegiatan di atas, biasanya kerangka berpikir saya saling berhubungan satu sama lain, membentuk suatu skema maupun hubungan-hubungan subconscious yang suatu saat bisa kapan saja diraih untuk dipakai dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
Bagi saya, setiap detik adalah saat saya bekerja dan bermain. Ketika bermain, saya dengan sadar memasukkan informasi-informasi baru dan menghubung-hubungkannya dengan existing knowledge. Ini juga yang mencetuskan keputusan saya untuk memulai bidang baru di bidang screenwriting. Visual and aural information yang telah bermukim di dalam benak ini tinggal dibuatkan plot-plot kerangka saja sudah bisa menghasilkan satu kisah yang bisa dibuatkan dokumentasinya.
Idealnya, setiap orang membuat inventaris ketrampilan dan keahlian yang dimilikinya. Di era cyber dan robotik ini, setiap ketrampilan dan keahlian sangat menentukan masa depan seseorang. Sayangnya, kebanyakan orang sangat mengandalkan apa yang mereka dapatkan dari bangku sekolah sebagai satu-satunya yang “pantas” untuk membukakan pintu masa depan mereka.
Juga, sesungguhnya lebih make sense untuk mengambil jurusan dalam bidang yang sangat diminati dari lubuk hati terdalam, bukan karena “trend” di masyarakat maupun karena kedengarannya lulusan ini dan itu bisa menghasilkan lebih banyak uang. Gelar hukum saya dari Universitas Indonesia, misalnya, kebanyakan bersifat supplemental dalam membantu membangun empire business saya di bidang informasi, pendidikan dan baru-baru ini di bidang fesyen dan kosmetika. Namun, tidak pernah satu hari pun saya sesalkan, karena sangat membantu dalam menangani masalah-masalah legal yang saya hadapi sebagai entrepreneur.
Sebagai seorang penulis, penerbit dan edukator by profession, lantas mengapa saya branch out ke bidang fesyen dan kosmetika (juga penulisan film)? Alasannya mudah saja, karena ternyata ketrampilan dan keahlian saya tidak terbatas di bidang-bidang di atas. Hal-hal yang merupakan “hobi” di masa lampau, kalau dikembangkan secara profesional pun akan menghasilkan karya yang tidak tanggung-tanggung.
Ketika saya bekerja, saya bermain. Ketika saya bermain, saya bekerja. Kedua hal ini <>overlapping satu sama lain, yang kalau digali dengan sungguh-sungguh pasti menghasilkan buah melimpah.
Memang kerja keras sendiri sudah merupakan “sukses” bagi banyak orang, seperti salah satu pembaca artikel saya yang mengirimkan e-mailnya. Memang benar setiap kerja keras adalah benih sukses tidak terhingga. Namun alangkah indahnya jika setiap kali kita bermain, benih sukses juga tertanam?
Intinya hanya satu: be aware of what the world brings to you, so you can bring some of what you have inside to the world outside.
Jennie S. Bev

26 August 2008

Satu

Dalam dingin berdendang hening
jemari hati erat bersama
kurobek-robek dinding penghalang
pergilah jangan menghalangi
biarkan kami

berdetak biarlah
tercabik, terobek, tak peduli
ingin kudekap, satu
jangan terlepas
genggam hingga diujung sana

Harapankami

Tangannya menengadah, berbisik perlahan.
Dengan kesungguhan.
Dengan keyakinan.
Kokok ayam masih jarang dikejauhan.
Duduk bersimpuh, bersarung diatas hamparan sajadah berwarna kemerahan.
Pudar.
Ia masih belum beranjak, sudah lama….
Mulutnya berkomat-kamit kemudian diam.
Diusap muka dengan kedua tangan.
Dibelakang, disamping bale berjajar.
Tampak diatasnya tergolek dua anak kecil.
Mereka masih terlelap. Tenang.
Ia berdiri.
Kepalanya berputar seirama jarum jam.
Perlahan.
Ditatapnya satu persatu mereka.
Seakan sanggup memberikan kekuatan untuk berharap hari ini….
Ia sudah bersiap.
Berangkat dengan keyakinan diri, istri dan anak-anakanya.
Seperti burung keluar dari sarang.
Untuk mengarungi hari ini……………..
Matahari baru saja terbit memenuhi janjinya.
Peluh berjatuhan dari dagu, berkejaran melewati wajah lelah.
Didekapnya map biru serta isinya dengan kuat.
Seperti ia mendekap harapan.
Mendekap kenyataan.
Sepeda berdiri dengan standar yang setia bersama.
Setia menunggu.
Gerbang pabrik masih rapat.
Hanya celah sebatas tatapan mata untuk berkomunikasi memberikan gambaran.
Masih hening, lengang.
Ia menunggu dengan sabar.
Lama…
Orang-orang mulai berdatangan.
Masih beberapa lama lagi.
Semakin lama semakin banyak.
Hingga ia tidak merasa sendiri lagi.
Pondok Aren, 25 Agustus 2008

Bisnis Cari Rugi, Kalau Untung Bahagia Banget

BATAM (BP) - Siapa yang tak kenal Bob Sadino? Ia enterpreneur sejati. Gayanya nyentrik, pola pikirnya unik dan cenderung terbalik. Keluar dari pakem teori dan buku teks ekonomi. Tapi, bisnisnya sukses. Pengusaha kawakan dengan ciri khasnya celana pendek dan kemeja itu, datang ke Batam berbagi pengalaman dan belajar goblok dengan pengusaha muda Batam. Apa maksudnya?
PEBISNIS yang biasa baca buku marketing, manajemen, dan makan sekolahan, dibikin bingung Bob Sadino, pengusaha yang terkenal dengan Kem Chicks-nya ini. ’’Hidup saya tanpa rencana dan tanpa target. Buku-buku di sekolah sudah meracuni pikiran Anda. Padahal, informasi itu sudah basi dan jadi sampah. Sekolah menghasilkan orang untuk bekerja, tapi bukan memberi peluang kerja bagi orang lain,” katanya. Nah, bingung kan?
Lelaki yang sudah berbisnis selama 36 tahun dan biasa disapa Om Bob ini bercerita, ia berani keluar dari kemapanan bekerja di Jakarta Lyod, jadi pengangguran, jadi kuli bangunan dan supir taksi. Ia lalu berkirim surat ke teman-temannya di Belanda, agar dikirimi ayam petelur. Saat itu, orang tidak biasa mengkonsumsi telur. Jadilah ia peternak ayam broiler dan menjual telur ayam. ’’Sayalah orang pertama yang mengenalkan telur kepada bangsa ini,” katanya.
Namun, jalan hidup Bob tidak semudah membalik telapak tangan. Ia menjual telur ke tetangga. Telurnya tidak laku karena warga Kemang tak biasa makan telur yang besar-besar itu, tapi telur ayam kampung. Beruntung, beberapa bule menyukainya. Permintaan pun bertambah. Tidak hanya telur, merica, garam dan belakangan berkembang ke bisnis daging olahan seperti sosis.
Bob Sadino yang pertama kali mengenalkan menanam sayuran tanpa tanah alias hidroponik. Padahal, saat itu tidak pasarnya. Tapi, kegigihan seorang Bob Sadino, ia menciptakan pasarnya. Beberapa tahun kemudian, ia malah mengekspor terung ke Jepang. Bob mengaku, ia tidak pernah berencana mau jadi apa. ’’Rencananya hanya buat orang pinter, saya bersyukur saya goblok. Kalau saya pintar, saya akan seperti Anda,” katanya, disambut tawa peserta seminar di Hotel Godway, Rabu (16/5) malam.
Kalau pengusaha atau orang dagang cari untung, Bob Sadino mengaku mencari rugi. Lantaran goblok, ia tidak tidak hitung-hitungan dan membebani dirinya macam-macam. ’’Biasanya orang dagang cari untung dan rugi peluangnya sama saja. Jadi, kalau cari rugi, terus kalau untung waduh, bahagia banget,” ujarnya.
’’Silakan cari kegagalan, cari kendala Anda. Saya mengalami segunung kegagalan, kendala dan keringat dingin dan air mata darah. Tapi, saya belajar dari kegagalan dan mencari jalan keluarnya. Kegagalan adalah anugrah. Lalu, apa di balik kegagalan. Sukses adalah titik kecil di atas segunung kegagalan,” papar Bob yang membuat peserta seminar terpana.
Bob Sadino bahagia dengan apa yang dilakukannya. Ia berani mengambil risiko dan menciptakan pasar. ’’Saya mengambil risiko sebesar-besarnya, sebab orang yang mengambil risiko kecil, hasilnya juga kecil. Kalau orang memperkecil risiko, ia jadi bebas dong. Risiko bisa jadi apa saja. Kewajiban saya mengubah risiko jadi duit,” ujar Bob Sadino, dengan santainya.
Meski awalnya sulit dipahami, peserta seminar yang bingung dan tidak terima dikatai goblok, lama-lama bisa mencerna jalan pikiran nyeleneh Bob Sadino. Sebagai pengusaha sukses, ia sudah sampai pada tahap financial independent, sehingga ia bebas mau beli apa saja dan mau pergi ke mana saja. ’’Duitnya sih, pas-pasan. Kalau mau beli Jaguar, pas duitnya ada,” katanya, terkekeh.
Karena merasa dirinya goblok, Bob tidak berpikir secara runtun, tapi mengalir begitu saja. Orang goblok juga akan lebih percaya pada orang lain yang lebih pintar dari dirinya. Kalau gagal, orang goblok tidak merasa gagal, tapi sedang belajar jadi lebih pintar. Akhirnya, orang goblok bisa jadi bosnya orang pintar-pintar. Kini, Bob memiliki 1.600 karyawan yang dia sebut anak-anaknya.
Sementara, orang pintar menghitung sesuatu nyelimet dan usahanya nggak jalan-jalan, karena dibebani rencana yang belum tentu berhasil. Orang pintar juga tidak percaya orang lain sehingga semua dikerjakannya sendiri. Ia mencontohkan ketika salah seorang karyawannya menurunkan harga kangkung di supermarketnya dari semula harganya Rp6.000 menjadi Rp400 saja. Eh, ternyata malah tidak laku.
Selidik punya selidik, ternyata langganannya protes, kok harga kangkungnya murah, padahal biasanya mahal. ’’Akhirnya, harga kangkung itu saya naikkan lagi. Pelanggan saya bilang, kangkung yang saya jual rasanya lain. Mungkin karena mahal, sehingga setiap sendok kangkung yang masuk ke mulutnya diam-diam dihitungnya, Rp6.000, jadi dia nikmati. Lha, kalau begini, siapa sebenarnya yang goblok?” papar Bob terbahak-bahak.
Namun, bagi pembeli ada nilai psikologis yang membuat pembeli merasa berbeda jika mengkonsumsi kangkung mahal daripada kangkung murah. Ini bagian dari trik marketing. Ia pun berbagi tips, bahwa untuk menjadi seorang marketing yang baik, maka seseorang harus menjual dirinya sendiri (sale for your self), sebelum menjual produknya. Sebuah filosofi, bahwa bagaimana seseorang menjadi marketing yang baik, kalau ia sendiri tidak dikenal orang.
Di balik kekonyolannya, Bob Sadino memberikan beberapa resep menjadi pengusaha. Antara lain, berpikir bebas dan tanpa beban. Memiliki tekad dan keinginan yang kuat menjadi pengusaha, sebab kemauan adalah ibarat bensin dan motor, keberanian mengambil peluang, tahan banting dan bersyukur bisa berbuat untuk orang lain.
Bagi pengusaha Batam, Bob Sadino berpesan, jangan takut dan jangan terlalu berharap. Sebab, makin tinggi harapan, makin tinggi tingkat kekecewaan. ’’Lepaskan belenggu dalam pikiran Anda sendiri. Ada berjuta peluang di sekeliling Anda,” katanya.
Dalam berbisnis, juga jangan terlalu memikirkan sukses. Kalau terlalu banyak memikirkan sukses, kata Om Bob, bekerja pasti dalam tekanan, tidak rileks sehingga hasil kerja tidak akan bagus. ’’Santai saja, hilangkan semua beban, ingat sandaran itu tadi, kemauan, komitmen, keberanian mengambil peluang, pantang menyerah dan selalu belajar pada yang lebih pintar serta selalu bersyukur,” ujar Om Bob, mengingatkan.
Satu hal yang menarik, orang-orang yang ia gunakan dalam membantu usahanya, bukanlah mereka yang berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, melainkan dari anak jalanan. Berawal dari satu anak jalanan, bertambah dua, tiga hingga saat ini mencapai 1.500 orang anak. Bob juga mengaku bukan orang yang berpendidikan tinggi. Ia hanya tamatan SMA. Ia tak pernah sekolah tinggi. Baginya, di sekolah orang membaca buku, buku sifatnya informasi yang telah terjadi yang tak ubahnya roti busuk alias sampah. Jadi, orang yang sekolah tinggi-tinggi, isinya hanya sampah. Terkecuali sampah itu diolah menjadi pupuk yang subur.
Bob Sadino juga tidak setuju dengan istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang digembar-gemborkan pemerintah. Apa pasal? ’’Mestinya bukan UKM, tapi UBB atau Usaha Bakal Besar sehingga kita tetap optimis dan berusaha membesarkan bisnis kita,” katanya.
Tak terasa, dua jam berlalu bersama Bob Sadino. Namun, pertanyaan menggelitik soal penampilannya yang senang bercelana pendek, terlontar juga dari peserta seminar. Apa jawaban Bob? ’’Tidak penting celana pendeknya, yang penting, apa di balik celana pendek itu,” ujar Om Bob yang disambut gelak tawa.
Di balik sikap nyentrik dan nyeleneh Bob Sadino, ia berhasil membangun bisnisnya selama puluhan tahun. Dan, ia bisa duduk santai dengan beberapa presiden sambil ngobrol ngalor ngidul. Yang jelas, peserta seminar yang umumnya pelaku bisnis merasa mendapat pengalaman dan pencerahan yang luar biasa.Sayangnya, nyaris tidak ada pengusaha kelas kakap yang tertarik bincang bisnis Bob Sadino yang disponsori Telkomsel itu. Mungkin khawatir dicap goblok. Jadi, mau pintar atau goblok ala Bob Sadino? Terserah Anda. (nur)

25 August 2008

PELATIHAN KETERAMPILAN GRATIS UNTUK MASYARAKAT



Arkandia Lifeskills dan Ikatan Teknisi Elektrikal-Mekanikal Sejahtera (ITES) dalam mengisi Ramadhan 2008 menyelenggarakan:

PELATIHAN KETERAMPILAN GRATIS UNTUK MASYARAKAT
(PELATIHAN DASAR AC SPLIT & SUKSES KELUAR DARI PENGANGGURAN)

Fasilitas:
Gratis
Peserta maksimal 5 (Lima) orang
Buku panduan merawat dan memperbaiki AC
Sertifikat
Materi aplikatif dan Praktek 90% untuk pelatihan AC Split
Menjadi anggota Ikatan Teknisi Elektrikal-Mekanikal Sejahtera (ITES)
Bebas konsultasi pasca pelatihan
Instruktur berpengalaman (Penulis buku teknik terampil best seller)

Materi Pelatihan:
Prinsip kerja AC
Praktek Servis (Cleaning), pemipaan & las, Isi & tambah Freon, Bongkar & Pasang, Kelistrikan, Troubleshooting dan lain-lain
Materi prinsip sukses keluar dari pengangguran

Waktu :
5 Kali pertemuan ( Jam 09.00 – 15.00 )
Bulan Ramadhan, setiap selasa dan sabtu ( Tanggal 6, 9, 13, 16, 20 September 2008 )

Syarat Pendaftaran :
Ditutup tanggal 03 September 2008
Peserta tidak sedang bekerja
Fotocopy KTP sebanyak 2 Lbr
Pas Photo 3 X 4 sebanyak 2 Lbr

Hubungi :
Juni Handoko
Jl. H. Biru No. 51 RT.02/ 02 Kel. Pondok Aren, Kec. Pondok Aren, Tangerang 15224
Telp.: (021) 91708622/ (021) 70199073
Hp : 081806029350
e-mail : junihandoko@gmail.com
www.arkandia.com


23 August 2008

Bangun Bisnis, Bangun “Kerajaan” Sendiri?

Sampai saat ini, konsep Kiyoshaki tentang pentingnya orang memasuki dunia bisnis masih dijadikan sumber inspirasi. Jutaan orang berhasil dirubah mindset-nya untuk segera meninggalkan dunia emplyoee (karyawan) menuju business owner. Jangan terlalu lama jadi orang gajian. Menjadi orang gajian (pekerja/karyawan) di samping penghasilannya terbatas, tetapi juga kebebasannya terbatas: jadi budak uang (kalau tidak kerja tidak dibayar). Tidak hanya jadi budak uang, tetapi budak waktu (hari-harinya) dibelenggu oleh tumpukkan pekerjaan sehingga nyaris tidak ada waktu untuk pengembangan dirinya maupun untuk keluarga. Padahal, semua itu dapat diatasi dengan mudah bila kita mau sedikit merubah mindset dalam melihat uang. Bukan kita yang bekerja untuk uang, tapi uanglah yang bekerja untuk kita melalui investasi (usaha).
Menjadi seorang karyawan, lanjut Kiyoshaki, artinya ia hidup dan bekerja untuk orang lain (pengusaha).
Apa lagi kalau yang bersangkutan terlibat hutang kantor untuk keperluan konsumtif, keringat dan bahkan darah digadaikan pada majikan. Berbeda dengan kalau menjadi pengusaha, ia mampu menghidupi orang lain, mampu mengendalikan orang lain sesuai dengan kemauannya.
Sedikit berbeda dengan Kiyoshaki, beberapa mentor Entrepreneur University mengungkapkan alasan mengapa mereka berani keluar dari tempat kerjanya dan segera memulai bisnis. Bukan hanya karena panggilan jiwa, tetapi mereka melihat dunia kerja (swasta dan pemerintah) bak penjara yang kurang sehat yang pengap lingkungan. Betapa tidak, hari-hari kerja selalu tidak lepas dari gosip, sikut-menyikut, kadang teman jadi lawan hanya karena jabatan. Payahnya lagi, bukannya belajar untuk mengukir prestasi tapi waktu demi waktu nyaris habis untuk ngrumpi, kalau tidak mempergunjing temannya, ya ganti pimpinannya. Kebiasaan hidup yang demikian adalah cara “cerdas” untuk memperbodoh diri.
Menurut hemat saya, orang yang secara totalitas untuk tetap bertahan sebagai karyawan (swasta atau peerintah) tanpa ada usaha sampingan bisnis, suatu saat nanti (pada saat pensiun) akan mengalami tantangan hidup kritis. Tanpa persiapan sejak masih bekerja untuk membuka bisnis, masa pensiun bukannya masa yang menyenangkan seperti yang dibayangkan semula. Masa pensiun adalah masa kelam yang mengerikan. Saya melihat banyak orang pensiunan yang mengalami depresi, terkena post power syndrom, dan tanpa gairah hidup alias layu (cepat tua sekali). Berbeda dengan mereka yang sejak semula sudah mempersiapkan masa pensiunnya untuk bisnis, tetap terlihat segar dan energik, hidup penuh gairah di masa tua.
Anda perlu berpikir ulang bila totalitas hidupnya hanya untuk perusahaan/kantor. Untuk berpikir ulang (khususnya karywan kelas bawah) bila waktu senggangnya hanya habis untuk memanjakan diri.
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah :apakah perusahaan/kantor Anda tengah memperiapkan Anda secara sistematis untuk masa pensiun?Atau perusahaan Anda hanya mengekspoitasi hidup Anda sehingga Anda merasa “dipenjara” oleh pekerjaan lalu dicampakan begitu saja ketika usia pensiun?
Bila itu terjadi, kita pantas bersedih. Di usia pensiun mestinya tinggal menikmati hidup malah kesengsaraan yang terjadi: “dicampakan” dengan alasan sudah tidak produktif lagi. Maka agar yang demikian tidak terjadi, membangun sendiri kerajaan bisnis sejak dini jauh lebih rasional, kalau tidak ingin terlunta-lunta hidupnya di masa tua (pensiun).
Sampai di sini perlu saya ingatkan lagi apa yang dikatakan oleh Kiyosahaki di atas bahwa dunia kerja adalah dunia hidup untuk orang lain. Yang bekerja di perusahaan swasta, hidupnya diabdikan untuk sang majikan: gaji dan pola hidup ditentukan oleh sang majikan; yang bekerja di pemerintahan (PNS, pegawai negeri sipil) juga mengalami nasib yang sama: hidup untuk mengabdi, setelah tua silakan “kembali” ke rumah alias pensiun.
Jabatan struktural di swasta dan di pemerintahan memang menjanjikan. Paling tidak gajinya dari segi pendapatan dan fasilitas. Tetapi perlu diingat bahwa semua itu bukan milik Anda. Jabatan dan fasilitasnya yang diterima adalah milik Pemilik Perusahaan itu sendiri bila Anda bekerja di swasta; dan milik publik bila Anda bekerja di pemerintahan. Apa artinya? Artinya bahwa jabatan yang Anda kejar dengan segala daya upaya itu sesungguhnya adalah milik orang lain. Pesan yang terkandung didalamnya adalah nasib Anda ditentukan oleh pemilik perusahaan, sehinga kalau dipandang tidak cocok lagi, atau tidak produktif lagi Anda diberhentikan (pensiun). Dan segera diganti oleh orang lain. Alangkah tragisnya hidup ini bila setelah bekerja keras, akhirnya hanya untuk orang lain.
Berbeda dengan bila Anda bangun usaha sendiri. Katakanlah mulai hari ini Anda memulai bisnis, maka mulai hari ini juga Anda sedang membangun sebuah “kerajaan” bisnis sendiri. Segala modal, pikiran, tenaga dan waktu Anda curahkan untuk diri Anda sendiri, demi kerajaan (impian) Anda sendiri. Bila berhasil nanti, semua jerih payah akan Anda nikmati sampai anak cucu. Tidak ada yang berani memberhentikan Anda, tak Ada yang berani mencampakkan Anda, kecuali kehendak Tuhan.
Bila karir di perusahaan/pemerintah ada batas-batasnya, kenapa kita tidak bangun bisnis sendiri? Bangun bisnis ibarat bangun “kerjaan” sendiri. Waidi, Pengelola EU Purwokerto

20 August 2008

Strategi Bisnis: Jurus-Jurus Menentang Arus

"Untuk mencapai sukses, tak usah meniru sukses masa lalu. Sebagian pebisnis menerapkan jurus-jurus bisnis yang tak lazim dan bertentangan dengan teori. Mereka sukses karena menerapkan jurus-jurus bisnis yang menentang arus"
Antrean di sebuah counter BreadTalk di Mal Kelapa Gading, Jakarta, itu tampak mengular. Panjang. Mereka rela antre hanya untuk dapat mencicipi sepotong roti bertabur abon. Untunglah, sambil antre, mereka masih terhibur melihat "atraksi" pembuatan roti di dapur yang dindingnya transparan.
Dapur transparan, bukankah itu melanggar tradisi? Bukankah itu sama saja dengan membuka rahasia dapur? Bukankah itu menentang arus? Apalagi kebanyakan toko roti selama ini selalu meletakkan dapur di belakang. Salah satu tujuannya adalah agar tak mudah dilihat pesaing. Lagi pula, banyak orang menganggap tabu kalau pembeli bisa melihat suasana dapur, yang biasanya jorok, kotor, dan berantakan. Anggapan itu justru "ditabrak" BreadTalk.
"Dengan konsep open kitchen, BreadTalk ingin menjadi sebuah butik roti yang ingin bisa menyatukan rasa, pikiran, dan mata," kata Sugiyanto Wibawa, vice-president director PT Talkindo Selaksa Anugrah, nama perusahaan pemegang hak waralaba BreadTalk di Indonesia. Meski Sugianto mengaku bahwa konsep open kitchen berasal dari Singapura, nyatanya apa yang ia lakukan kemudian diikuti oleh beberapa toko roti lainnya di Tanah Air.
Menentang Arus, Apa Itu?Menurut associate consultant MarkPlus&Co, Yuswohady, jurus-jurus bisnis menentang arus kerap disebut sebagai blue ocean strategy. " Blue ocean strategyadalah strategi yang biasanya diterapkan dalam sebuah arena bisnis, di mana kondisi pasar atau lautnya masih berwarna biru, terbuka, karena belum banyak pemain yang menggarap," papar Siwo, panggilan akrab Yuswohady. Jadi, lanjut dia, bisa dikatakan bahwa blue ocean strategy adalah strategi yang radikal, gila, dan cenderung menentang arus bisnis yang ada.
Dalam kasus BreadTalk, jurus menentang arus yang dipakainya adalah tak sekadar mengandalkan kenikmatan rasa rotinya, seperti toko-toko roti lainnya di Indonesia. "BreadTalk berani menabrak tradisi dapur tertutup, dan terbukti bisa memainkan emosi konsumen dengan konsep keterbukaan dapurnya," jelas Siwo.
Selain BreadTalk, fenomena menentang arus juga dipakai Putera Sampoerna ketika mengeluarkan rokok rendah tar dan nikotin, A Mild, pada 1990-an. Langkah Putera ketika itu terbilang berani. Pasalnya, saat itu pasar rokok Indonesia masih didominasi oleh rokok kretek. HM Sampoerna bahkan dikenal sebagai salah satu produsen rokok terbesar yang sukses dengan rokok kretek merek Dji Sam Soe dan Sampoerna Eksklusif. "Namun, demi menghidupkan pasar A Mild, Putera Sampoerna malah memutuskan untuk mematikan produk Sampoerna Eksklusif," ujar Sendi Sugiharto, head manager of Category Low Tar Low Nikotin. Sebuah langkah berani dan penuh risiko.
"Rokok A Mild adalah bukti keberanian Putera Sampoerna untuk melupakan kesuksesan HM Sampoerna dengan kejayaan rokok kreteknya," ucap Siwo. Padahal, biasanya orang kalau sudah sukses, mereka akan menggunakan strategi bisnis atau membuat produk yang tak jauh berbeda dengan kesuksesan masa lalunya. Gampangnya, ngapain mesti repot-repot kalau bisa menjiplak strategi bisnis sebelumnya. Namun, untuk Putera Sampoerna, ia malah mempraktekkan jurus menentang arus: lupakan sukses masa lalu.
Dalam dunia dengan persaingan yang makin keras, berbisnis dengan cara-cara yang biasa jelas tak memadai lagi. Produk harus unik. Strategi jangan sampai mudah dikenali lawan. Itu pulalah yang diterapkan oleh Bob Sadino, pemilik sekaligus pendiri Kemchicks Supermarket, yang berlokasi di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Bob dikenal sebagai pengusaha yang anti manajemen. "Saya selalu menganalogikan bisnis itu seperti sungai yang penuh kebebasan, tanpa perencanaan, bahkan tanpa arah tujuan yang hendak dicapai," kata pria yang khas dengan celana pendeknya itu.
Bob tak pernah memakai rencana, atau mematok target. Untuk masalah keuangan di Kemchicks Supermarket pun Bob tak pernah ikut campur. Semua pengelolaannya ia percayakan kepada karyawan, yang oleh Bob disebut sebagai "anak-anaknya". "Jadi, kalau Kemchicks untung Rp100 miliar, ya terserah anak-anak saja, mau dihabiskan untuk apa saja," katanya, serius. Bob memang memberikan kebebasan penuh kepada 350 karyawannya untuk bekerja sesuai keinginan mereka. Meski serba tak masuk di akal, toh terbukti hingga kini Kemchicks, Kemfood, dan Kemfarm masih eksis.
Cara aneh membesarkan usaha juga dilakukan oleh Purdi E. Chandra. Ia termasuk orang yang percaya bahwa kalau ingin sukses tak perlu pendidikan formal. Namun, ketika Purdi mendirikan Entrepreneur University dengan cara itu, banyak orang mengerutkan kening. "Kuliah di Entrepreneur University modelnya tanpa ijazah. Mahasiswanya baru bisa diwisuda kalau sudah berhasil membuat usaha sendiri," kata Purdi. Jadi, kalau ingin sukses seperti Purdi, yang mantan anggota MPR RI ini, lupakan pendidikan formal. Ijazah itu tak penting.
Sudah tentu masih banyak jurus menentang arus yang bisa dipetik dari berbagai kasus. Misalnya, ada fenomena kaus Dagadu dari Yogyakarta yang tak mau ekspansi ke luar dari Kota Gudeg itu. Lalu ada Joger dari Bali, strategi harga tiket murah ala Lion Air, gratis kartu prabayar As, dan sebagainya.
Melihat Dari Sisi Yang BerbedaLalu, apa yang bisa dipetik dari beberapa jurus bisnis menentang arus tadi? Sukseskah? Kafi Kurnia, pakar bisnis dan pemasaran dari Inbrand, memberi gambaran gunanya memakai jurus menentang arus. "Dalam berbisnis, kadang kala, kita mesti berpikir secara holistik atau dari dua sisi," katanya. Jadi, ibarat koin, melihatnya harus dari dua sisi secara bersamaan.
Cara ini biasa digunakan orang-orang yang mengalami kemacetan saat menjalankan teori-teori bisnis dari bangku pendidikan. "Sebab, di dunia ini sebenarnya banyak teori bisnis yang hanya melihat dari satu sisi. Padahal masih ada sisi yang lain, yang berbeda sama sekali," kata Kafi, yang juga penulis buku Anti Marketing --sebuah buku tentang jurus-jurus pemasaran yang edan, ngawur, tapi kreatif. "Ibaratnya, kalau menemui jalan yang mulai macet, supaya mobilnya tetap jalan, ya harus mencari jalan alternatif," kata pria berambut jabrik ini. Jadi, meski dianggap nyeleneh, sebenarnya jurus-jurus menentang arus bisa dijadikan alternatif dari teori bisnis yang ada.
Namun, yang patut diingat, memakai jurus-jurus menentang arus bukan tanpa risiko. Untuk mengenalkan cita rasa rokok mild, misalnya, membutuhkan waktu 3-5 tahun. "Sampai 1995 saja A Mild belum dikenal konsumen. Buktinya, kalau kami membagi-bagi sampel gratis pun masih ada konsumen yang tidak mau," tutur Sendi Sugiharto. Salah satu kendala yang paling berat untuk mendorong kesuksesan A Mild, tambah Sendi, adalah terus meyakinkan pasar.
Akhirnya Sampoerna memutuskan untuk melakukan edukasi pasar dan terus meyakinkan tim pemasaran dan wiraniaganya agar mau terus menjual. Hasilnya tidak sia-sia. Dengan brand "Bukan Basa Basi", tahun 2004 A Mild bisa menguasai 8% pangsa pasar rokok mild, atau lebih dari 200.000 batang per tahun. Ia diikuti oleh para pesaingnya, seperti Star Mild dan X Mild (Bentoel), LA Light dari Djarum Kudus, dan yang terakhir Gudang Garam Nusantara.
Menurut Siwo, menerapkan jurus menentang arus memang berisiko. Salah satunya, harus mau mengedukasi pasar. "Tak mudah mengubah keinginan pasar yang masih perawan, alias blue ocean," ungkap alumnus Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada ini. Risiko selanjutnya adalah kemungkinan langsung ditiru oleh kompetitor, seperti dalam kasus A Mild dan BreadTalk.
Memang begitulah, sesuai namanya, yaitu menentang arus, sudah pasti jurus ini akan berhadapan melawan arus. Untuk berhasil, yang menerapkannya mesti punya tenaga ekstra. Namanya saja menentang arus. Jika tanpa tenaga ekstra, ia malah bakal hanyut terbawa arus ... lalu tenggelam.
Jurus-Jurus Menentang Arus Itu ....
Lupakan Sukses Masa Lalu Tak ada kesuksesan yang abadi. Sebelum masa suram itu tiba, mulailah dari sekarang untuk melupakan masa lalu (baca: kesuksesan Anda). "Salah satu langkah awal membuat jurus menentang arus adalah melupakan formula, strategi, dan semua sendi-sendi kesuksesan perusahaan atau bisnis di masa lalu," ungkap Yuswohady. Sebab, biasanya, keberhasilan masa lalu bisa dengan mudah diikuti oleh para kompetitor. Sebagai generasi ketiga, Putera Sampoerna mau melupakan kejayaan rokok kreteknya dengan meluncurkan A Mild.
Tabrak Saja TradisiSiapa yang bakal mengira bisa melihat cara membuat roti di sebuah mal? Dengan konsep open kitchen, BreadTalk sukses menggabungkan pikiran, rasa, dan mata. Atau, Anda mungkin masih ingat pada 1980-1990, tren minuman dalam kemasan banyak yang berbentuk botol. Namun, Extra Joss justru berani membuat minuman kemasan sachet. Sukses ternyata bisa dicapai kalau ada keberanian menabrak tradisi.
Anti ManajemenJargon ini terkesan ekstrem. Teori manajemen mengajarkan pentingnya perencanaan, target, eksekusi, dan evaluasi. Namun, Bob Sadino justru bertolak belakang. Ia tak pernah memakai ilmu manajemen. "Sebenarnya langkah bisnis saya adalah langkah seribu," gurau Bob. Tak ada manajemen, feeling, atau insting yang dipakai Bob dalam berbisnis.
Distribusi Itu Tidak PentingSukses sebuah produk sangat tergantung pada distribusinya. Namun, ini tak berlaku bagi kaus Dagadu di Yogyakarta dan kaus Joger dari Bali. Semua orang mengakui bahwa dua produsen kaus itu dikenal kreatif memainkan kata-kata. Namun, Dagadu dan Joger tak pernah mau membuka cabang di kota lain. Cara ini justru membuat produknya laris dan banyak dicari. Kaus Dagadu diproduksi 5.000-10.000 potong per bulan. Akibat pembatasan distribusinya, mereka yang ingin memilikinya harus datang ke Yogya atau Bali.
Lupakan Ijazah, Lupakan SertifikatPurdi E. Chandra, pendiri sekaligus dirut Primagama, sukses membesarkan lembaga bimbingan tes-nya yang kini beromzet Rp100 miliar per tahun. Kunci sukses Purdi justru tidak mengandalkan ilmu pendidikan formalnya. "Jadilah pengusaha yang cerdas di lapangan, di jalanan, dan berani menentang teori dari sekolah formal," katanya.
Harga Tak Usah Masuk AkalLion Air berani membanderol harga tiket pesawat 50% lebih murah dari semua harga tiket pesawat yang berlaku di semua maskapai saat itu. Hal serupa terjadi untuk pembelian kartu perdana dari IM3 dan Kartu As dari Telkomsel. Dengan harga beli Rp 15.000, konsumen bisa mendapatkan nomor perdana dan pulsa senilai Rp 25.000.
Tak Perlu Menjadi yang PertamaTak selamanya menjadi yang kedua, atau pengikut, selalu gagal. Dalam kasus internet banking, meski LippoBank yang menjadi pionirnya, kini justru BCA yang memimpin. Begitu juga dengan bisnis kartu kredit. Pencetusnya adalah Bank Duta, tetapi kini yang menikmati booming kartu kredit adalah Citibank.Dikutip dari Majalah Warta Ekonomi Edisi 8 Agustus 2005.

Menang Karena Malas

Wawancara Dengan Tabloid MQ
Sehebat apapun manusia, ia pasti pernah mengalami kekalahan dalam kehidupan. Bahkan sebagian dari mereka menyebut, mustahil ada kesuksesan tanpa terlebih dahulu berhadapan dengan kekalahan. Menurut mereka, justru kekalahan hiduplah yang mampu membuat mereka bangkit menuai keberhasilan.
Purdi E. Chandra adalah salah seorang contoh di antara mereka. Sebelum menjadi “Super Entrepreneur” seperti saat ini, berkali-kali ia berhadapan dengan kegagalan. Salah satu contohnya adalah ketika ia harus drop out (DO) dari empat fakultas pada dua universitas berbeda di Yogyakarta (UGM dan IKIP Yogya). Lantas, bagaimana ia bisa sesukses sekarang? Bagaimana ia bisa bangkit dari kekalahan tersebut? Bos Primagama itu bertutur kepada Winarno dari MQ di Gedung Graha Primagama, Yogyakarta. Berikut petikannya:
Anda pernah mengalami kegagalan dan kekalahan dalam kuliah, tapi bisa sukses seperti saat ini. Bahkan, Anda menguasai hampir segala bidang usaha. Bagaimana Anda bisa bangkit dari kegagalan tersebut?
Bagi saya, kegagalan atau kekalahan itu tempat sekolah saya sebenarnya. Dalam kekalahan pula saya mendapat ujian yang sebenarnya. Ujian dari Allah Swt.
Kebanyakan orang ingin selalu sukses dalam menjalani kehidupan ini. Saya justru sebaliknya. Saya justru mengharapkan kegagalan dan kekalahan sebelum saya mendapat kemenangan. Kegagalan inilah yang membuat saya berpikir dan terus berpikir. Dengan berpikir kita menjadi tahu, dan dengan tahu kita menjadi bisa. Bisa sukses dan menang. Saya selalu positif thinking dengan kekalahan dan kegagalan yang menimpa diri saya. Inilah kehidupan. Sebenarnya, kalau kita mau berpikir, di balik kegagalan maupun kekalahan itu ada hikmahnya buat kita. Mungkin ada yang kurang dari usaha atau ikhtiar kita sehingga kita mengalami kekalahan. Saya bisa bangkit dari kekalahan dengan positif thinking. Setiap kekalahan dan kegagalan pasti ada hikmahnya. Hikmah inilah yang membuat saya bisa sukses dan menang dalam segmen kehidupan berikutnya. Kita harus selalu introspeksi diri dan evaluasi diri, jangan sampai kita mengalami kegagalan terus marah-marah dan menyalahkan orang lain. Ingat, inilah ujian kita sebenarnya. Saya gagal dan kalah meraih gelar sarjana, mungkin Allah menakdirkan saya menjadi seorang pengusaha. Kalau saya pintar dan menjadi sarjana dengan nilai bagus, mungkin saya cuma jadi karyawan. Karena, secara logika, pasti saya mengandalkan nilai saya untuk mencari pekerjaan.
Purdie adalah putra Indonesia kelahiran Lampung Tengah, 9 September 1959. Pemilik tak kurang dari 26 perusahaan ini juga adalah suami dari Hj. Triningsih Kusuma Astuti, yang kini berputrakan Fesha Muhammad dan Zidan Muhammad. Pendiri dan pemilik Entrepreneur University ini pun pernah menjabat sebagai Ka. KADINDA DIY, yang membidangi pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Dalam dunia politik, ia aktif sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DIY, dan Anggota MPR RI 1999-2004, Utusan Daerah DI Yogyakarta.
Kemenangan dan kekalahan adalah sunatullah. Tapi, kebanyakan orang lebih siap menerima kemenangan daripada kekalahan. Begitu pula dalam menekuni dunia bisnis. Menurut Anda?
Kebanyakan orang melihatnya selalu ke atas, tidak pernah melihat ke bawah. Jadi, mereka tidak pernah menyadari bahwa kehidupan ini seperti roda berputar. Kadang kita menang kadang kita kalah. Seharusnya kita menyadari bahwa kehidupan ini seperti piala bergilir. Kemenangan dan kekalahan itu seperti piala bergilir. Kalau Allah ridha pasti kita akan menang. Tapi, kalau kita harus kalah, berarti Allah belum ridha. Begitu pula dalam dunia bisnis. Yang terpenting dari semuanya, kita mampu memiliki mental siap menang juga siap kalah. Siap berhasil juga siap gagal. Semua itu akan lahir ketika kita mampu mengedepankan otak kanan daripada otak kiri.
Saat ini Anda juga terjun ke dunia trainer, apa sih suka dukanya menekuni profesi ini?
Wah, kalau bicara suka dukanya banyak sekali. Saya suka kalau banyak rekan-rekan yang berhasil dalam usahanya. Saya senang kalau banyak orang berhasil, karena secara otomatis bisa mengurangi pengangguran di negeri ini. Dengan menukseskan orang lain, berarti saya bisa melahirkan beratus-ratus bahkan beribu-ribu pengusaha. Semakin banyak pengusaha baru saya semakin suka dan senang. Dukanya kalau banyak rekan yang mengeluh dalam bisnisnya.
Niat baik untuk membimbing pelajar kelas 3 SLTA yang ingin masuk jenjang pendidikan lebih tinggi (PTN), mendorong Purdi E. Chandra mendirikan lembaga bimbingan belajar Primagama, 10 Maret 1982. Niatan itu belakangan menjadi peluang untuk dikembangkan, karena Yogyakarta berstatus kota pelajar. Peluang inilah yang lantas diolahnya. Kemudian catatan bilangan ternyata menunjuk pada angka 32.000-an siswa bergabung dengan Primagama setiap tahunnya. Lembaga ini pula yang kemudian menjadikan Purdi menjadi Raja Bimbel.
Anda dulu pernah kalah dan gagal waktu kuliah, tetapi sekarang menang dan sukses dalam berwirausaha. Apa kunci keberhasilan Anda ini?
Kunci keberhasilan dan kemenangan saya adalah “MALAS”. Malaslah yang membuat saya bisa berhasil seperti sekarang ini. Saya malas dan karenanya mendelegasikan kerjaan saya kepada orang lain. Coba bayangkan kalau saya rajin ke kantor atau rajin ke tempat usaha saya. Saya tidak bakalan bisa membuka usaha di mana-mana dan tidak bisa membuka segala macam usaha karena tenaga saya terbatas. Tidak mungkin saya membuka cabang usaha di mana-mana kalau saya rajin ke kantor dan mengerjakan sendiri segala kerjaan saya. Maka dari itu saya bermalas-malas di rumah saja. Kerjaan saya delegasikan kepada orang lain. Saya panggil orang lain untuk mengerjakan kerjaan saya. Karena itu, siapapun orangnya yang mau berhasil, jadilah seperti saya. Orang yang malas. Delegasikan pekerjaan kepada orang lain. Dengan bermalas-malasan saya bisa membuka ratusan cabang Primagama di mana-mana.
Bagaimana caranya agar orang selalu mempunyai optimisme dalam usaha?Agar kita selalu punya rasa optimis, kita tidak boleh takut kalah dan gagal. Kegagalan itu justru diperlukan dalam dunia usaha. Karena adanya kegagalan itulah maka ada kesuksesan atau kemenangan. Karena itu, jadi orang jangan pernah takut dengan kegagalan dan kekalahan. Kekalahan adalah hal biasa. Dan, sejatinya ia bisa membuat kita bangkit.

Jejak Panjang Para Jawara

Kisah Sukses Dedengkot Pemegang Waralaba Kelas DuniaPerlu waktu bertahun-tahun dan harus melewati serangkaian tes melelahkan agar bisa menjadi pemegang waralaba kelas dunia. Hasilnya memang sepadan karena keuntungan mengalir tiada henti. Simak kisah para jawara pemegang waralaba dunia.Siapa yang tk kenal dengan McDonald’s, Starbuck, dan Breadtalk? Ketiganya sudah sangat melekat dalam ingatan kita. McDonald’s adalah merek hamburger Amerika yang kini sudah mendunia. Starbuck merujuk pada kedai kopi elite kelas mall dari negeri yang sama. Breadtalk adalah merk roti dari negara tetangga Singapura.Jumlah gerai franchise top itu terus bertambah dan makin mudah kita jangkau. Tapi untuk membawa nama-nama tersebut ke Indonesia dan jadi akrab di kuping perlu waktu yang sangat panjang dan melewati jalan yang berliku. Butuh kerja keras dan modal yang besar, hingga kelihaian melobi agar merek-merek yang sudah melanglang buana itu bersedia mampir di Indonesia.Tanyakan saja pada Bambang N Rachmadi saat melamar McDonald’s. cobalah meminta Matheus Rukmasaleh Arif dan Boyke Gozali berbagi cerita saat mereka meminang Starbuck. Anda perlu menyimak pula penuturan Johnny Andrean yang tukang salon ketika ingin menggaet Breadtalk. “Wah, berat. Syaratnya ketat banget,” kata Ake Arif, sapaan Rukmasaleh seolah mewakili suara mereka.Yang kita tahu, hasil jerih payah mereka tidak sia-sia. Orang jawa menyebutnya cucuk, dan kita bilang impas. Buktinya, Bambang bisa meraih omzet entah berapa miliar rupiah setiap tahun dari dari ratusan kedai McD yang dia miliki. Jumlah outlet Starbuck juga sudah mencapai 60 hanya dalam waktu empat tahun. Dan ribuan pembeli yang tetap rela antri di depan gerai Breadtalk, menunjukan bisnis roti ini mendatangkan untung.Jadi Pembersih Toilet Untuk Melamar McDBambang, misalnya harus bersaing dengan 39 pelamar lain agar bisa menjadi pemegang waralaba McD untuk Indonesia. Kisahnya bermula pada tahun 1988. selepas jabatanya sebagai Presiden Direktur Bank Panin,pria bertubuh tinggi besar yang bisa disapa Toni ini berniat membuka usaha sendiri. Setelah menguping dan melirik sana-sini, Toni terpikat untuk menjadi pemegang lisensi restoran hamburger tersohor sejagat di Indonesia. Alasanya sederhana, jaringan hamburger bermerek itu begitu sukses di seluruh muka bumi tapi belum ada di Indonesia.Ia lantas mengajukan lamaran ke kantor pusat McD di Illinois Amerika Serikat. Setahun lamanya lamaran tak berbalas. Setelah bosan menunggu, Toni mengubah strategi menggunakan jalur lobi. Kebetulan, McDonald’s Singapura jadi salah satu pengiklan Stasiun Radio Ramako miliknya yang mengudara di Batam. Ia lantas menemui pemilik franchise McDonald’s Singapura, Bobby Kwan, agar bersedia memberi rekomendasi.Rupanya Bobby tak keberatan dan merekomendasikannya agar bertemu dengan Peter Richie, pengelola McDonald’s Australia. Kebetulan, Richie adalah orang-orang yang bertugas untuk mencari mitra di Indonesia. Toni memang berhasil bertemu Richie. Tapi bukan berarti dia sudah memegang lisensi McD. Sebab, mantan direktur keuangan Bank Duta ini masih harus mengikuti tes di Singapura dan bersaing dengan 39 pelamar lain dari Indonesia. Di negeri Singa dia harus menjalani sebuah ujian yang sangat berat. Bayangkan saja, seorang bekas dirut bank terkemuka harus menjadi tukang pel dan pembersih toilet di sebuah restoran. Masalahnya bukan hanya harus bekerja berat sampai di atas 12 jam,tapi dia juga harus berhadapan dengan orang- orang Indonesia yang banyak berkunjung ke sana. “Mereka yang mengenal saya bingung, kenapa saya jadi pelayan di sana,” katanya mengenang.Toni memang bisa lulus dari ujian berat tersebut, tapi masih harus menyisihkan 19 peserta sisa yang sama-sama lolos penyaringan di Singapura. Mereka lantas menjalani tas pamungkas di Sydney Australia untuk menentukan pemenang. Hasil akhirnya, bambanglah yang berhak mengantongi lisensi untuk membuka McD di Indonesia. Dengan modal awal Rp 3 miliar, ia pun membuka restoran McDonald’s di gedung Sarinah, Jakarta pusat. Pilihanya tak salah. Dari yang semula satu restoran, gerai-gerai McD lantas beranak pinak puluhan hingga ratusan buah. Toni sekarang sudah berhasil menancapkan gerai burgernya hingga lebih dari 110 gerai di seantero Indonesia.Lima Tahun Melamar Starbuck Perjuangan Toni nan panjang dan melelahkan sudah pasti tak sia-sia. McD jadi tambang emas PT Ramako Gerbang Mas, induk usaha milik suami Sri Adyanti Soedharmono tersebut. Diperkirakan omzet mencapai lebih dari 3 miliar sehari dari hasil penjualan burger, kentang dan ayam goreng.Menanti bertahun-tahun juga harus dilalui oleh Ake Arif dan Boyke Gozali ketiak meminang keai kopi kelas mal bernama Starbuck. “Kalau enggak salah ingat, izin baru turun setelah empat hingga lima tahunan dari awal proposal kami masukan,” ucap Ake, mengingat. Ide mengaet kedai kopi modern ini bermula ketikaBoyke masih berada di Amerika. Boyke lantas berpikiran untuk membawanya ke Indonesia. Selama masa menanti, mereka harus bisa meyakinkan petinggi Starbuck di Seatttle agar bersedia berbagi waralaba dengan mereka. Sejumlah prosedur dan persyaratan berat juga harus mereka lalui . muali dari mempresentasikan rencana bisnis, hingga kesediaan menyekolahkan sejumlah karyawannya untuk menimba ilmu kopi. “Kami tebar pesonalah, he…he…,” tambah Ake.Usaha mereka memang tidak sia-sia. Mereka akhirnya lulus dan menjadi pemegang hak mengelola Starbuck di Indonesia. Kendati begitu, bukan berarti mereka bisa bebas. Sebab, selain harus membayar royalty, mereka harus rutin melaporkan perkmbangan starbuck di Indonesia. Bahkan Ake mengatakan bahwa untuk membuka satu gerai sekalipun harus meminta izin dari kantor pusat Starbuck dan tak bisa seenaknya menentukan lokasi pendirian gerai. “Hanya boleh di kota-kota besar. Bahkan waktu mau membuka di Surabaya saja susahnya minta ampun,” tutur Ake.Toh, sejauh ini usaha mereka tetap moncer. Kendati baru empat tahun mendapat hak tersebut, kini sekitar 60 gerai Starbuck siap menyediakan kopi di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar.Belajar Membuat Roti Berbulan-bulan Kita selama ini lebih mengenal nam Johnny Andrean sebagai piñata rambut dan penyalon kondang. Tapi bukan berarti itu halangan baginya untuk menekuni bisnis lain yang sangat jauh berbeda dengan bisnis yang dia tekuni saat itu yaitu bisnis roti bermerek Breadtalk.Johnny rupanya yakin, gerai Breadtalk-nya juga bakal sesukses salon-salonnya. Itu lantaran di Singapura roti bermerek ini sangat populer sehingga orang rela antri berlama-lama untuk bisa membelinya.Makanya ia betul-betul serius ketika menyiapkan gerai yang merupakan waralaba dari Singapura ini. Tanpa sungkan Johnny pergi belajar mengolah roti ke negeri Singa selama beberapa bulan, sebelum akhirnya bulan Maret 2003 gerai Breadtalk itu resmi muncul di sini, di mal Kelapa Gading, Jakarta.Penciuman bisnis pria kelahiran Pontianak 45 tahun silam inisungguh tajam. Begitu garai pertama Breadtalk dibuka, sekitar 2000-an orang menyerbu setiap hari. Saking ramainya, sampai-sampai Breadtalk menjatah 10 roti untuk tiap pembeli. Kini, 2 tahun berdiri, sulur Breadtalk mulai melebar hingga 14 cabang. Kendati mulai banyak pesaing, pembeli Breadtalk tak pernah surut. Kisarannya 1000-1500 pembeli yang datang.Johnny sekarang tidak hanya mahir menata rambut, tapi juga pintar membuat roti. Nah, bagi para pelanggan salon Johnny Andrean, jangan buru-buru kecewa, karena pria lulusan Vidal Sasson Academy Londonini suatu ketika pernah berjanji akan tetap menjalankan salonnya seperti biasa. “Lagi pula dua-duanya sudah dikelola secara professional,” kata Johnny waktu itu.Mereka boleh dibilang jadi dedengkot pemegang franchise kelas dunia. Dan sekarang belum ada dedengkot pemegang jaringan waralaba asli Indonesia. Siapa tahu, Anda yang nantinya memegang

17 August 2008

ENTREPRENEUR: BAKAT, PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN

Salah satu alasan orang untuk tidak memilih jalan hidup sebagai entrepreneur adalah ketiadaan bakat. Benarkah untuk menjadi entrepreneur diperlukan bakat? Menurut saya, tidak selalu. Banyak sekali entrepreneur sukses yang semula sama sekali tidak memiliki bakat berwirausaha.
Menurut pakar manajemen, Dr. Roy Sembel, kekuatan manusia terletak pada tiga hal: bakat, pengetahuan dan ketrampilan. Bakat adalah pola pikir, perasaan atau perilaku alami yang kita miliki. Pengetahuan adalah fakta-fakta dan pelajaran yang kita pelajari dalam hidup ini. Sedangkan ketrampilan adalah hal-hal atau langkah-langkah yang kita kuasai karena kita melatih atau melakukannya secara terus menerus.
Misalnya seseorang memiliki bakat atau talenta di bidang musik. Jika dia terus belajar (misalnya menulis, membaca not balok atau belajar cara komposisi), berlatih secara konsisten minimal 6 jam sehari, selama lebih dari sepuluh tahun, dan senantiasa fokus, maka dapat dipastikan dia akan menjadi musisi terkenal.
Bertolak dari hal di atas maka secara jelas kita dapat melihat bahwa bakat hanya salah satu dari 3 aspek kekuatan manusia. Bakat adalah sesuatu yang sudah kita bawa sejak lahir dan merupakan anugerah Tuhan yang harus kita syukuri. Jangan pernah menyesali bakat yang telah diberikan-Nya. Jika merasa bakat kurang maka kembangkanlah 2 aspek lainnya: pengetahuan dan ketrampilan.
Entrepreneur seperti Ir. Hariono, pemilik Panti Pijat Bersih Sehat di Jakarta (yang ini sungguhan pijat untuk kesehatan bukan tempat transaksi seks) malah berani mengatakan kalau sukses seseorang hanya 15% yang ditentukan oleh bakat, keturunan, pendidikan formal (gelar sarjana) dan modal uang. Sisanya sebesar 85% ditentukan oleh yang namanya sikap mental positif yaitu kreativitas. Jadi, bakat bukanlah segalanya. Tanpa didukung kreativitas, bakat tak akan berarti. Sebaliknya, jika bakat yang kita miliki sangat sedikit, jadilah manusia yang kreatif. Caranya dengan tekun belajar dan memiliki pikiran yang senantiasa terbuka. Umumnya dengan semakin bertambahnya pengetahuan orang cenderung makin kreatif.
Ada sebuah kisah menarik untuk menjelaskan hal di atas yaitu tentang burung rajawali yang dibesarkan bersama ayam. Ijinkanlah saya menceritakan kembali cerita milik Anthony de Mello, seorang rohaniwan asal India itu.
Seorang pengembara menemukan sebutir telur rajawali di tengah hutan dan membawanya pulang lalu ditempatkan bersama telur–telur ayam yang sedang dierami induk ayam. Beberapa waktu kemudian, telur–telur tersebut menetas. Rajawali tumbuh bersama ayam dan berperilaku seperti ayam.
Suatu hari, ia melihat seekor burung dengan gagahnya terbang di udara. Ia kemudian bertanya kepada ibunya yang tentu seekor ayam, “Ibu, apa itu?” Ibunya melihat ke atas. “Oh itu… Itu raja segala burung di udara. Namanya rajawali. Kalau kita ini hanya burung–burung tanah yang berkotek, mengais tanah dan makan cacing. Jadi jangan pernah bermimpi menjadi seperti dia, nak,” kata ibu yang penuh kasih sayang itu.
Saudaranya yang tentu seekor ayam kemudian mengambil–alih pembicaraan. “Ah, tapi kamu mirip dia. Sekarang coba kamu terbang,” tutur saudaranya. “Ah, masa iya?” kata sang rajawali yang belum menyadarinya itu. “Mari kita pergi ke sungai dan melihat bayangan dirimu,” ajak saudaranya.
Ketika melihat bayangan dirinya di sungai, ia pun mulai percaya kalau ia adalah rajawali. Tapi karena dibesarkan bersama ayam dan telah menikmati kehidupan seperti ayam, ia mulai pesimis bisa terbang bebas bak rajawali. Saudara–saudara dan ibunya kemudian menaikkan dia ke atas batu dan menyuruhnya terbang. Seperti sudah diduga, mula – mula ia jatuh beberapa kali. Namun setelah mencoba dengan tekun ia mulai bisa terbang.
Angin yang berhembus kencang secara tiba–tiba itu membuat ia terbang makin tinggi. Dari 10 meter, 100 meter, 1.000 meter dan kemudian menghilang di balik megahnya awan. Dari atas sana ia memandang ke bawah. Sambil melihat keluarga tercinta, ia pun berseru, “Engkau yang melihat aku. Engkau yang menyadarkan aku. Engkau yang menciptakan aku menjadi rajawali. Terima kasih…”
Apa hikmah yang bisa kita peroleh dari cerita di atas? Untuk menjadi entrepreneur unggulan, jangan pernah lelah untuk terus mengembangkan kekuatan kita. Terus berusaha dan tekunlah. Jangan pernah menyerah (never give up). Ada baiknya juga, saya paparkan ungkapan bijak milik Presiden Calvin Coolidge yang sering sekali dipakai orang dalam berbagai pelatihan motivasi diri.
Nothing in the world can take the place of persistence. Talent will not; nothing is more common than unsucessful men with talent. Education will not; the world is full of educated derelicts. Persistence and determination alone are omnipotent! (Di dunia ini tak ada yang bisa mengalahkan ketekunan. Bakat pun tidak; sebab ada sekian banyak orang yang gagal meskipun mereka berbakat. Pendidikan juga tak mampu menggantikannya; dunia ini penuh dengan orang berpendidikan yang gagal. Hanya ketekunan dan kebulatan tekadlah yang tak terkalahkan!).
Untuk itu, mari kita kembangkan bakat, pengetahuan dan ketrampilan kita agar dapat menjadi entrepreneur unggulan! (Paulus Winarto)

ENTREPRENEUR YANG MURAH HATI

Oleh: Paulus Winarto
Banyak orang yang memutuskan untuk hidup dalam kemiskinan karena memiliki pandangan bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan. Benarkah demikian? Bagi saya, uang itu netral seperti pisau yang bisa digunakan untuk membunuh orang dan mengupas buah–buahan untuk dimakan. Jadi amat tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Mereka yang berpaham negatif tentang uang sudah barang tentu menolak jadi orang kaya. Dalam pandangan mereka, entrepreneur adalah orang kaya dan pasti bajingan. Apalagi di negeri ini yang terkenal dengan konspirasi antara pengusaha kaya dan penguasa. Saya sendiri tak menyangkal fakta masih amat banyak KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terjadi di mana–mana. Tapi, kalau kita hanya berpikir yang jelek–jelek saja, lantas kapan kita bisa membenahi negeri tercinta ini?
Tidak sedikit entrepreneur yang sukses tanpa KKN, amat murah hati dan banyak beramal. Semakin kaya, semakin banyak orang yang bisa dibantunya. Lihatlah, betapa banyak yayasan yang dibentuk oleh para entrepreneur sukses yang banyak menyumbang bagi kemajuan pendidikan. Entrepreneur juga menciptakan lapangan pekerjaan yang amat dibutuhkan masyarakat luas, terutama di musim krisis, seperti sekarang ini. Atau, amatilah sistem bisnis seperti multi level marketing (MLM) yang memberi manfaat bagi begitu banyak orang, bahkan hingga lintas negara. Salut!
Yang berbahaya adalah ketika si entrepreneur mendewakan uang dan menjadi serakah. Uang bukan segalanya tapi uang penting untuk menopang hidup. Siapa yang bisa hidup tanpa uang? Sebuah lembaga sosial pun amat memerlukan uang untuk kegiatan operasionalnya, Memang, menurut ajaran agama, Tuhan mencintai orang miskin tapi Tuhan pun mencintai orang kaya yang memberi makan, minum, pakaian, tumpangan, dsb kepada orang miskin.
Johanes Lim dalam bukunya Just Duit! menekankan bahwa uang bukanlah tujuan hidup, melainkan alat atau media untuk mencapai tujuan. Apa tujuannya? Menjadi lebih berguna bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain. Ini amat masuk akal. Jika kita kekurangan uang, bagaimana kita mampu menolong orang lain? Wong menolong diri sendiri aja susahnya bukan main.
Jadi, kalau kekayaan tidak dapat membeli kebahagiaan, maka apakah kemiskinan dapat? Tidak sedikit keluarga yang berantakan, istri menjual diri atau bahkan dijual sama sang suami lantaran ekonomi keluarganya yang amat sulit. Saya sama sekali tidak anti orang miskin, tapi saya ingin sekali memerangi kemiskinan. Dan, salah satu jalan memerangi kemiskinan adalah dengan menjadi entrepreneur unggulan. Menjadi orang kaya. Semakin kaya kita, semakin banyak berkat yang bisa kita bagikan kepada sesama sebagai wujud cinta kita kepada Sang Pemberi Hidup.
Jadilah orang kaya yang mandiri, tidak bergantung pada siapa pun kecuali Tuhan. Berjalanlah bersama-Nya sepanjang hidup ini maka kita tak akan salah langkah. Berjalanlah di jalur yang ditunjukkan-Nya. Sebuah cerita mungkin lebih dapat menjelaskan maksud saya.
Ada seorang pemuda yang bermimpi ketika ia berjalan di tepi pantai, ia selalu melihat dua pasang kaki. Satu pasang adalah miliknya, satu pasang lagi milik Tuhan. Namun ketika ia diterpa derita, yang dilihatnya hanya satu pasang kaki. Ia merasa ditinggalkan Tuhan. Ia berdoa dan bertanya, “Tuhan, Tuhan… mengapa Engkau meninggalkan aku? Padahal Engkau pernah berjanji akan selalu menemani perjalanan hidupku.” Dan, dengan lembut Tuhan menjawab, “Anakku yang tersayang, Aku akan selalu menyayangimu. Aku Allah yang setia, tak pernah ingkar janji. Ketika engkau dalam kesusahan, engkau memang hanya dapat melihat sepasang kaki dan itu adalah kaki-Ku karena aku sedang menggendongmu agar tidak tersandung batu.” Sungguh, sebuah cerita yang amat menggetarkan hati
Pesan saya, apabila kelak kita menjadi entrepreneur sukses, maka manfaatkanlah uang kita sebaik–baiknya. Bermurah hatilah. Bukan dalam arti selalu memberikan uang kepada pengemis di pinggir jalan (karena dalam hal tertentu itu amat tidak mendidik dan banyak pengemis gadungan yang malas bekerja) tapi salurkan bantuan kita secara tepat. Mungkin salah satu langkah yang bijak adalah dengan ikut membangun pendidikan demi mencerdaskan bangsa. Tanpa kecerdasan, bangsa ini akan tetap bodoh. Tak ada kecerdasan, tak ada kemajuan!
Atau jika kita ingin mewujudkan masyarakat wirausaha (entrepreneurial society) di negeri yang angka penganggurannya makin memprihatinkan ini maka saran dari Purdi Chandra, bos Primagama Group patut dipertimbangkan: jadilah Mega Entrepreneur. Tularkan virus–virus kewirausahaan kepada orang terdekat yang selama ini amat berjasa membesarkan perusahaan yaitu para karyawan.
Menjadi Mega Entrepreneur adalah salah satu cara melaksanakan tanggung jawab sosial untuk melahirkan entrepreneur–entrepreneur baru. Biarkan karyawan punya bisnis sambilan di luar jam kerja, asal tidak sejenis dengan usaha kita dan ia harus tetap komit terhadap tugasnya sebagai karyawan. Bila perlu bantu permodalannya dengan sistem bagi hasil (profit sharing) atau dorong mereka untuk buka usaha sendiri.
Jika usaha yang mereka bangun sejenis maka itu akan mencipatakan iklim persaingan sehat yang mengarah kepada efisiensi. Jika mereka kemudian sukses, bukankah itu akan memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran?
Mendorong karyawan menjadi entrepreneur baru itu ibarat memberikan pancing. Stephen Covey pernah berkata, “Jika ikan yang kita beri maka kita hanya memberinya makan sehari. Jika pancing yang kita berikan maka kita memberinya makan seumur hidup.” Pandangan Covey ini disempurnakan oleh Raymond Kao, “Seandainya kita memberinya pancing kemudian mendidik cara memancing, sekaligus menanamkan tanggung jawab moral, maka berarti kita ikut membangun negara.”
Pesan bermakna lebih luas yang patut kita renungkan datang dari Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric. “Misi seorang entrepreneur adalah mengentaskan kemiskinan, menyelamatkan masyarakat secara keseluruhan dari akibat–akibat kemiskinan serta mengusahakan kesejahteraan umum. Para entrepreneur juga harus mampu berbagi rasa dalam menciptakan masyarakat yang kaya secara spiritual dan berkecukupan secara material,” katanya. Sebuah cita–cita yang mulia, bukan?

Bing Hartojo Tugiarso: Dari Sales Menjadi Raja Pulpen

Bing Hartojo Tugiarso: Dari Sales Menjadi Raja Pulpen
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Pepatah itu sangat cocok untuk menggambarkan perjalanan hidup Bing Hartojo Tugiarso. Bayangkan, setamat SMA, Bing memutuskan hijrah dari tanah kelahirannya, Madura, untuk mengadu nasib di Ibukota Jakarta. Sialnya, pekerjaan yang dia dapat justru yang paling tidak diinginkan orang: Salesman. Bing menyebutnya “profesi kepepet”. Tapi apa mau dikata, keahlian dia tidak punya. Pertanyaan sang paman mau kerja apa, juga susah dijawab. Jadilah Bing seorang wiraniaga. Sialnya lagi, sebagai salesman, dia harus berputar-putar di Jakarta menjajakan pulpen dagangannya. Padahal, Jakarta masih menjadi “rimba” untuknya. Maklum, Bing masih buta terhadap peta Jakarta.
Hidup harus terus mengalir. Begitulah kira-kira yang ada di pikiran Bing saat itu. Pernah suatu ketika, Bing bertanya kepada seseorang tentang alamat yang ingin dituju. Tapi arah yang ditunjuk malah berlawanan. Padahal, uang di saku hanya cukup untuk ongkos sekali jalan. Terpaksa dia harus pulang jalan kaki. Lapar dan haus menemani Bing setiap hari karena gaji dan komisi sangat kecil, bahkan tidak cukup. “Uang yang didapat di-paspasin saja. Terkadang siang saya tidak makan nasi. Saya menggantinya dengan roti, buat mengganjal perut saja,” kenangnya.
Tapi masa bersakit-sakit sudah berlalu. Dari profesi awal yang digeluti sebagai sales pulpen, kini Bing memiliki perusahaan sendiri di bawah bendera PT Anugerah Dwi Abadi—produsen ballpoint merk Hotliner. Berikut penuturan perjalanan hidup ayah dua putri ini kepada Noor Yanto dari Majalah MARKETING.
Bagaimana kisah Anda awalnya memilih profesi sales?Selepas SMA, tahun 1979, saya merantau ke Jakarta. Saya tidak tahu kalau akhirnya harus memasarkan pulpen. Di iklan yang saya baca, hanya ditulis mencari seorang sales. Saya sempat bingung juga, orang Madura kok disuruh jualan di Jakarta. Ha..ha…ha.... Jalan saja, saya tidak tahu. Dan belum ada langganan. Seorang Sales itu kan harus punya langganan dan network. Nah, disuruh jadi sales, saya bingung, gimana caranya? Mungkin kalau di Madura, saya belum tentu mau. Dulu opininya, menjadi sales itu kalau hanya kepepet. Saya pikir-pikir, sudah menumpang sama oom saya, lalu dia kasih pekerjaan, masa harus ditolak? Memang saya sempat ditanya, kamu mau kerja apa? Saya juga bingung, tamatan SMA mau kerja apa?
Pengalaman apa yang didapat pertama kali? Ya, nyasar-nyasar. Saya disuruh kemana saja belum tentu tahu. Kalaupun tanya orang, ternyata belum tentu juga tahu. Saat itu, uang makan habis untuk transpor. Itu pengalaman yang paling berkesan. Sering sekali saya dapat uang makan yang tidak cukup. Komisi dan gaji sangat kecil. Apalagi di bulan-bulan pertama masih cari langganan, belum ada omzet. Jadi uang yang didapat, di-paspasin saja. Terkadang siang saya tidak makan nasi. Biasanya saya mencari roti buat mengganjal perut saja.
Ini nasib atau memang pilihan Anda saat itu? Kalau saya sempat berpikir, belum tentu saya mau jadi sales. Hanya saja di Jakarta ini, saya tidak mungkin menumpang terus (sama oom).
Produk yang pertama Anda pasarkan merek apa?Merek Bic, pulpen dari Perancis.

Berapa lama Anda bekerja di sana? Saya mulai Salesman hingga Sales Manager. Menjadi Salesman selama lima tahun. Lalu Supervisor selama dua setengah tahun. Kemudian diangkat jadi Sales Manager.
Dari sana, pindah ke perusahaan apa? Saya sebentar di ABC, hanya setahun saja. Produknya adalah pasta gigi. Di ABC saya menjadi Brand Manager. Lalu saat ada lamaran Marketing Manager untuk alat tulis, tetapi syarat umur tidak mencukupi. Waktu itu, saya hanya iseng-iseng saja. Dan saya pikir, kayaknya ini bidang saya. Jadi saya melamar, waktu itu grupnya Bank Umum Nasional. Nothing to loose, tidak diterima juga tidak apa-apa. Dalam iklannya tertulis, minimal berusia 35 tahun. Saya baru 27 saat itu. Ya sudah, saya coba saja. Eh, malah diterima.
Bagaimana cara Anda belajar? Dari atasan saya. Dia menyuruh A, saya jalankan dan kalau mentok saya kembali ke dia. Yang penting saya kerjakan dulu. Saya bilang ke dia, “Mentok nih, bos. Langganannya mau seperti ini.” Lalu dia bilang, “Oh, kamu mesti begini.” Kemudian saya coba lagi. Nah, saya dapat ilmu baru lagi. Lama-kelamaan saya pintar sendiri. Ha..ha…ha…
Saya pertama kali kan tidak tahu apa-apa. Orang komplain satu hal, saya tidak bisa menjawab. Contohnya, “Tadi saya dapat keluhan ini.” Bos saya menjawab “Oh, lain kali kamu harus jawab begini.” Oke, saya dapat satu ilmu kan? Sewaktu dapat keluhan sama, saya bisa menjawabnya. Tetapi, ketika dapat kasus lain saya balikin lagi ke atasan saya. Saat itulah saya banyak bertanya dan mendapatkan ilmu.
Apa seninya menjadi Sales? Saya punya hobi jalan. Saya bersyukur jadi Sales, bisa keliling Indonesia. Setelah lama berkecimpung di dunia ini, saya berpendapat seni bernegosiasi itu hal yang utama. Kenapa orang harus membeli produk kita, berarti negosiasi kan? Saya sendiri kalau ditolak tidak apa-apa. Kita tidak bisa memaksa dalam berjualan. Dari situ saya justru belajar, kenapa mereka tidak membeli produk kami.
Sales itu intinya apa? Kita tidak boleh ada beban ingin menjual. Kalau Anda punya beban harus menjual, berarti Anda akan menemui masalah. Sewaktu ditolak, sudah ciut duluan. Malu kita kan? Siapa yang mau dilahirkan jadi Sales? Semua orang bisa menjadi Sales, tetapi siapa yang mau? Saya pertama kali ditolak malu juga, tetapi saya tetap belajar. Saya digaji untuk menawarkan barang, konsumen mau atau tidak mau, bukan urusan saya. Saya memang menawarkan, sewaktu dia bilang tidak, saya mencari yang lain.
Ada kiat khusus sebagai seorang Sales pulpen? Biasanya dulu, secara tradisional orang masuk ke toko mengucapkan salam dan memperkenalkan diri, kemudian menawarkan barang. Tapi kebanyakan ditolak. Kemudian saya dapat ide, kepada pemilik toko saya katakan, ”Saya dari produk ini, tugas saya mau kontrol. Ada barang saya yang rusak tidak? Kalau ada, mau saya tukar.” Pemilik toko akan kaget dan bertanya, “Yang mana produknya?” Ketika dilihat ternyata produk saya tidak ada, langsung saya tunjukkan, “Produk saya seperti ini.” Ini cara halus kan?

Salesmanship ada opening-nya, ada cara berbicaranya, lalu ada closing-nya. Nah, pembukaannya harus bagus dulu. Kalau si pemilik toko bertanya, “Kamu jualan?”, saya akan menjawab, “Oh, tidak. Saya mau kontrol saja.” Namun, begitu ada kesempatan seperti tadi, saya langsung menawarkan barang. Yang penting, image awal kita sudah baik. Tidak perlu memaksa dia membeli barang kita. Kalau laku, dia akan mencari sendiri. Saya paling tidak bisa memaksa orang. Kasihan juga dong kalau tidak laku. Terutama lagi dia sudah mencoba produk kita. Kalau sudah beli, saya sudah puas. Itu yang saya tekankan ke anak buah: “jangan memaksa”. Rezeki dari Atas, yang penting kita usaha. Selain itu, saya selalu berpikir bagaimana cara menjual pulpen ini.
Setelah itu baru menjalankan usaha sendiri? Saya bikin pabrik pulpen sendiri. Paling tidak dari pengalaman saya sudah mendapat pelajaran.
Apa pertimbangan Anda bikin pabrik pulpen sendiri? Saya menggeluti industri ini dari awal, setidaknya saya bisa tahu situasi pasar. Kalau harus mencari produk lain, mesti belajar lagi. Sedangkan di pulpen, saya belajar di perusahaan orang sudah cukup lama. Delapan tahun di Bic, setahun di Lincoln, kemudian 10 tahun di Standard.
Kapan Anda membangun pabrik? Pertamanya belum ada pabrik. Jadi saat mengundurkan diri dari perusahaan itu, saya membuka usaha trading dulu. Beli barang dari luar negeri, lalu saya beri merek sendiri. Kemudian saya berpikir, daripada membeli, kenapa tidak bikin sendiri. Kalau membuat sendiri, cost-nya bisa lebih murah. Jadi saya coba tawar ke luar negeri, apakah mesin pencetaknya bisa saya beli. Ini dimulai tahun 1998, saat itu sedang krisis moneter. Saya resign dari kantor lama bulan April, bulan berikutnya krisis. Agak setengah mati juga memulainya, tetapi saya bersyukur Yang Di Atas masih mempercayai saya. Secara akal sehat waktu itu sangat berat, toko-toko pada buka-tutup. Sementara demonstrasi terus-menerus. Kreativitas di dunia bisnis tidak ada. Kondisinya sangat parah.
Anda punya partner membangun usaha ini? Saya berdua dengan teman saya. Saya sebagai marketing director, teman saya sebagai factory director. Dia juga mempunyai visi yang sama dengan saya, tidak mau kerja terus sama orang sementara umur bertambah. Saya kenalnya sewaktu bersama-sama kerja di Standard. Kami berdua bisa saling mengisi.
Kapan pabrik Anda mulai operasi? Tahun 2001. Persiapan dilakukan sejak 1998.
Bisa diceritakan perkembangannya? Omzetnya berapa? Soal omzet agak rahasia. Kami mengeluarkan dua produk. Pertama, yang reguler, untuk menulis sehari-hari. Kedua, produk untuk promosi. Jadi total produksi kami sekitar 2 juta batang per bulan.
Untuk pengembangan usaha, apa saja yang sudah dilakukan? Saya pelan-pelan mesti tambah produk dalam hal jenis barangnya. Tetapi, satu-persatu karena keterbatasan modal. Kalau dahulu sih pinjam sama bank begitu mudahnya. Tidak pinjam malah ditawarkan. Sekarang tidak? Banknya harus hati-hati. Tetapi, dengan begini kita harus banyak belajar. Saya apa adanya. Kalau Tuhan kasih saya begini, ya sudah. Kalau kita tambah banyak, berarti dipercaya lebih banyak dan musti hati-hati juga. Apa yang mampu saya kerjakan, akan dikerjakan. Saya memakai ilmu air. Kalau mentok di kiri, kita ke kanan.

Lalu apa ambisi Anda berikutnya? Menikmati hidup ini. Mengalir saja. Saya pun menikmati apa yang saya kerjakan. Dulu sewaktu menjadi marketing director hanya memikirkan pemasaran saja. Sekarang jadi pengusaha, situasi keamanan mesti dipikirkan. Mau invest, kan investasinya besar. Sementara di satu sisi, dapat benefitnya ribuan rupiah. Belum lagi masalah currency-nya, kalau dolar naik, belum tentu kita bisa naikkan harga juga. Saingannya banyak. Kalau kita naikkan harga, bisa celaka. Jadi kita lebih hati-hati dengan kekuatan yang ada saja.
Berapa jumlah karyawan pabrik Anda? Semuanya 120 orang. Sebenarnya jumlah keseluruhan lebih banyak karena untuk assembling produk, saya menggunakan ibu-ibu rumah tangga untuk mengerjakannya.
Bagaimana persaingan di industri ini? Sangat ketat karena pulpen selalu dipakai orang. Dari lahir hingga Anda meninggal nanti, pulpen tetap dipakai orang. Surat lahir perlu tanda tangan, juga surat kematian. Meskipun sekarang sudah computerized, tetap saja manusia butuh pulpen.
Berapa sih pemain di bisnis ini? Untuk produk lokal pabriknya ada lima, belum yang dari Jepang. Produk Indonesia ini letaknya di tengah-tengah. Di bawahnya sudah menunggu produk dari China. Murah-murah harganya, dan segmen mereka kelas menengah-bawah. Di atasnya ada Jepang. Jadi kita cari niche-nya.
Apa strategi Anda menghadapi para pesaing? Saya lebih aktif saja dalam memasarkan.
Berapa market share produk Anda? Masih kecil. Sekitar 10 persenanlah. Itu dari quantity-nya.
Distribusi produk Anda kemana saja? Saya lebih fokus di Jawa. Kalau keluar pulau terlalu jauh dan cost-nya tinggi. Untuk Indonesia Timur, saya ambil agen di Surabaya. Kota itu pendistribusiannya kan ke sana. Di Jawa Tengah saya pakai grosir-grosir yang besar. Untuk Sumatera baru ada di Medan.
Apa saja tantangan dalam menggarap produk Anda? Tantangan sekarang adalah dari segi persaingan yang sangat ketat. Sebenarnya kalau saya belajar dari pengusaha di Vietnam atau China, mereka di-support oleh pemerintahnya. Ini saya tanya dari yang punya pabrik di Vietnam, pabriknya sangat besar. Padahal dulu pabriknya kumuh. Lalu, oleh pemerintahnya disuruh pindah. Dia dapat keringanan yang seringan-ringannya. Kalau Anda lihat pabrik di China, besar-besar semua. Kami tidak ada support dari pemerintah.
Bagaimana cara Anda mengatasinya? Saya jual ide dan desain. Kalau orang melihat pulpen promosi ini, apa yang dia lihat? Tentu lihat logonya. Kalau saya menawarkan pulpen, puluhan ribu macam jenisnya. Saya musti cari celah. Oleh karena itu, saya jual ide karena yang pertama kali dilihat pada pulpen itu adalah brand-nya. Bukan pulpennya. Saya mesti bisa menonjolkan produk sendiri. Saya mencari apa yang bisa membuat orang tertarik. []
* Artikel wawancara ini dimuat kembali atas izin tertulis dari Majalah MARKETING.

Umi Nursalim: Modal Sukses Saya Cuma Jujur

Jika berbincang dengan pemilik nama lengkap Ratna Juwita Umiarsih Nursalim ini, Anda tidak akan menyangka beliau adalah seorang ibu kelahiran Yogyakarta pada 4 Juni 1943 ini. Betapa tidak, pengusaha restoran ayam goreng dengan merek Mbok Berek Nyonya Umi ini, ternyata masih sangat bersemangat saat tampil di panggung sebagai penyebar inspirasi sukses. Di saat usianya sudah menginjak angka tujuhpuluhan, ia tetap enerjik, sehari-hari masih terlibat penuh dalam usaha restorannya, dan tampak lebih muda dari usia sesungguhnya.
Berangkat usaha dari rumah dan hanya dengan seekor ayam pinjaman, Umi kini berhasil memiliki delapan restoran ayam goreng di berbagai tempat. Ia mengaku bahwa memulai usaha tidak harus selalu dengan modal besar. Bahkan bermodal barang pinjaman pun bisa, asal seseorang ulet dalam menjalankan usahanya. Semangatnya memang luar biasa dalam membesarkan usaha rumahannya. “Apa pun jenis usaha kita, ya harus ditekuni. Jangan mudah menyerah dan jangan mudah bosan,” itulah pesan Umi kepada semua orang yang hendak berwirausaha.
Ibu dari Hastari Winariyanti, Agung Dwi Hariyanto S.E, Danik Rusmaningtyas, dan Ratih Kusumastuti, ini punya prinsip bahwa kejujuran adalah modal utama dalam menjalankan usahanya. Selain itu, seorang pengusaha, apalagi yang pemula, hendaknya tidak mudah terpancing untuk menghambur-hamburkan hasil usahanya. “Prinsip saya, modal satu harus jadi dua,” ujarnya kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.Com, dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu di Hotel Novotel, Solo, Jawa Tengah. Berikut petikan wawancarnya:
Apa modal usaha Anda?Ya kalau zaman dulu sih ya tadi, kita jujur aja, ulet, tekun, disiplin, tidak mudah putus asa, tidak boleh mengeluh, tidak boleh iri dengki, hati harus bersih. Tapi kalau sekarang modal ya tetap jujur. Karena ini kan kepercayaan, seperti Tuppeware apa kan? Yang penting jujur menjalankan, setelah laku kita setor. Jujur nomor satu.
Orang suka bilang, tak punya uang tak bisa wirausaha?Mau usaha apa? Wong jual sayuran door to door dapat uang kok. Kita modalnya jujur saja, bisa ndak menjualkan ini...ini...cukup. Jadi apa saja yang bisa menghasilkan uang kita jual. Yang penting jangan gengsi. Jual ini itu malu, maunya jualan yang megah-megah saja. Ndak bisa. Usaha apa pun yang penting halal dan mendapatkan keuntungan. Tuhan akan memberi jalan kepada siapa yang mau. Kalau ndak mau mana bisa? Mana ada uang jatuh dari langit? Wong saya ini mulainya beli cabe sejumput, lalu dibumbu, ayamnya satu, ya jalan. Terus modal usaha kembali ke usaha untuk memperbaiki usaha. Jangan untuk beli yang macam-macam.
Pernah usaha apa saja sebelum sukses dengan ayam?Apa saja, baju-baju saya tawarkan ke tetangga. Jual piring, sendok, cangkir, pesenan itu. Gaji suami saya pakai untuk beli dulu, trus saya belikan, saya tagih harian. Itu cuma cara untuk memperpanjang gaji suami. Jadi jual apa pesanan tetangga bayarnya mereka harian, misalnya dulu Rp 25 sehari. Menurut Anda, apa peran yang baik untuk seorang istri dalam kehidupan ekonomi keluarga?
Membantu suami dengan kerja yang tidak meninggalkan anak. Bisa membuat makanan untuk dititip-titipkan, boleh lulur ke rumah-rumah, memijat, kerokan. Kan sekarang kerokan sekali saja Rp 10.000. Kalau lulur, modal Rp 5.000 kembali Rp 30.000 ha ha ha. Jadi di sekitar ibu-ibu itu banyak peluang. Masalahnya banyak yang nggak tahu.
Bagaimana kalau suami melarang?Sekarang kayaknya ndak bisa ya. Kebutuhan kan macam-macam, kadang nggak cukup gaji suami saja. Ya, istri harus menunjang. Membantulah!
Bagaimana supaya tidak jenuh menekuni bidang usaha yang sama bertahun-tahun?Bagaimana ya, saya sendiri juga jenuh, tapi kita ya refreshing. Cuti atau bagaimana. Jadi ndak boleh...malas ah, tutup saja! Usaha apa pun kita harus tekun, ndak boleh jenuh. Walau jenuh kita harus tetap kerja, demi kesuksesan.
Gagal itu lumrah. Tapi ketika orang gagal jadi trauma. Mau bangkit lagi itu sulit. Menurut Anda?Berapa kali dia usaha dan gagal? Makanya, memulainya jangan langsung besar. Merintis itu harus dari kecil. Jadi kalau langsung besar istilahnya setelah di gunung jatuhnya ke jurang. Kecuali punya modal besar, bikin usaha lalu jatuh, itu ndak soal. Tapi kalau yang modalnya terbatas apalagi uang bank, kita harus hati-hati. Misalnya kita punya modal sendiri 25 perak, lalu kalau berani kita pinjam 5 perak. Atau punya 100 kita pinjam 25. Jadi kalau jatuh masih punya 50, masih punya untuk mengembalikan yang 25.
Kalau bisnis lagi turun siklusnya, apa yang harus dilakukan?Mungkin perlu dipromosi lagi. Kalau kita orang dagang memang naik turun, saya sendiri juga begitu, ndak pasti. Cuma kita cari apa sebabnya. Kalau saya restoran, apa kurang bersih, kurang enak, kurang cepat saji. Teliti dulu penyebabnya setelah itu diperbaiki.
Kalau dari sisi spirit kita?Ya kita jangan cuma senang kalau di atas terus. Roda kan berputar? Kalau di bawah jangan mengeluh, kalau di atas jangan sombong. Kalau lagi turun mungkin bisa istirahat dulu atau bagaimana, tapi jangan terus bosan, tutup, atau berhenti. Mungkin perlu usaha lebih keras lagi.
Siapa saja yang ikut memberi semangat kepada Anda?Kalau saya memang terutama kemauan sendiri. Kemauan keras untuk jadi, harus jadi ini. Misalnya mengapa saya ingin franchise, karena saya lihat Kentucky saja dari Amerika bisa masuk sini. Mengapa kita tidak bisa ke sana? Kita harus belajar. Kita coba, sekali gagal, dicoba lagi, terus sampai berhasil. Tetap semangat. Dari mana Anda belajar bisnis?Dulu waktu SD-SMP saya tidak ikut orang tua. Saya ikut saudara, kalau minta terus kan ndak enak. Saya berpikir bagaimana supaya saya dapat uang tanpa membebani saudara. Terus saya jualan hem (seragam sekolah) waktu SMP. 'Boleh saya jualkan bajunya, Bu?' 'Boleh-boleh. Kamu bayarnya kalau kamu dapat uang saku dari orang tua, kamu bayarnya tiap hari saja (diangsur)'. Lama-lama waktu SMKK saya menjualkan dagangan orang tua teman saya. Jadi kita punya uang. Memang ulet sejak kecil. Nomor satu memang menyenangi keadaan bisa usaha. Hobi bisa untuk usaha asal ada kemauan. Cita-cita saya dari dulu bisa mandiri. Karena saya dari kecil ikut nenek, ikut tante.
Siapa guru-guru bisnis Anda? Sendiri saja, kemauan saja. Apa pun kalau orang lain bisa mengapa saya tidak? Belajar dari praktek dan pengalaman. Ndak ada yang ngajarin, guru atau sekolah ndak ada.
Soal tempat usaha, seberapa penting menurut Anda? Saya keliling sendiri mencari tempatnya. Kira-kira ini...oh perumahan menengah ke atas, dekat kantor-kantor besar. Mana dari tempat kita yang kira-kira tidak efisien kita jual, lalu kita belikan tempat yang kira-kira bakal naik harganya dan bisa untuk usaha. Di samping aset juga harus cari yang naik. Yang kira-kira satu bisa jadi dua. Satu rumah bisa jadi dua, satu mobil bisa jadi dua. Ini kemauan saja, feeling saya.
Bagaimana mengembangkan feeling itu? Kalau feeling dagang, mencari tempat harus kita sendiri. Pencarian kita dengan orang lain beda-beda. Kalau lokasi kantor kan mudah. Tapi kalau untuk dagang, ya cari lokasi yang parkirnya mudah, dekat perumahan menengah ke atas, dekat perkantoran. Ini feeling dagang. Nah, kalau Tupperware itu kan pabriknya harus mengeluarkan produk-produk baru, jadi terus merangsang orang beli.
Bagaimana pandangan Anda terhadap karyawan? Karyawan itu kan aset kita juga. Karena usaha kita tidak mungkin usaha sendiri tanpa mereka. Konglomerat pun tidak bisa. Menanam sendiri, jual sendiri, masuk kantong sendiri ndak bisa. Dan kalau bisa jangan ganti-ganti karyawan. Lebih baik menaikan gaji mereka daripada kita mendidik yang baru. Karena itu lebih sulit. Karyawan itu mitra kerja.
Anda termasuk pengusaha yang bisa menahan diri untuk tidak bermewah-mewahan. Mengapa? Prinsipnya usaha biar maju dulu. Saya sejak 1978 berusaha, 25 tahun lebih baru sekarang berani beli mobil bagus. Itu setelah buka cabang banyak. Apalagi usia saya sudah 71 tahun, ya bolehlah kita menikmati hasil usaha.
Sejak awal Anda terampil sekali mengelola uang atau barang orang lain untuk bisnis? Saya itu modalnya hanya jujur. Ayam saya ngutang, besok setelah laku saya bayar. Sayuran dan beras juga ngutang, sekarang ambil dijual laku, besok bayar. Semuanya itu, sekarang ambil besok bayar sama ambil lagi. Sampai sekarang.
Lalu, ceritanya sampai bisa buka cabang? Waktu masih di kontrakan di Jalan Soepomo 2-B, ceritanya saya ditanya perlu modal berapa oleh Pak Nyoman dari bank. Saya bilang cari tempat dulu untuk buka cabang. Saya dapat di Jalan Panglima Polim No.93, ada kontrakan lima tahun Rp10 juta. Lalu dipinjami uang oleh bank untuk kontrak, beli kulkas, meja kursi, dll. Itu saya belum punya mobil. Dulu naik bemo, belum ada bajaj. Lalu tahun berapa ya, 80-an itu ada taksi terus saya langganan untuk antar ayam. Ternyata dua tempat ini jalannya bagus, lalu tempat di kiri-kanan dibeli, jalannya makin kenceng. Dari situ dapat tempat lagi yang sekarang ini. Pinjaman perlu ya, tapi harus pintar mengelola juga...?
Iya. Saya tidak mengutik-utik pemasukan, langsung setor bank dia yang memotong. Karena makanan kan istilahnya kita ngutang. Sekarang beli, besok bayar dan ambil lagi. Sampai sekarang.*