17 August 2008

ENTREPRENEUR YANG MURAH HATI

Oleh: Paulus Winarto
Banyak orang yang memutuskan untuk hidup dalam kemiskinan karena memiliki pandangan bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan. Benarkah demikian? Bagi saya, uang itu netral seperti pisau yang bisa digunakan untuk membunuh orang dan mengupas buah–buahan untuk dimakan. Jadi amat tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Mereka yang berpaham negatif tentang uang sudah barang tentu menolak jadi orang kaya. Dalam pandangan mereka, entrepreneur adalah orang kaya dan pasti bajingan. Apalagi di negeri ini yang terkenal dengan konspirasi antara pengusaha kaya dan penguasa. Saya sendiri tak menyangkal fakta masih amat banyak KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terjadi di mana–mana. Tapi, kalau kita hanya berpikir yang jelek–jelek saja, lantas kapan kita bisa membenahi negeri tercinta ini?
Tidak sedikit entrepreneur yang sukses tanpa KKN, amat murah hati dan banyak beramal. Semakin kaya, semakin banyak orang yang bisa dibantunya. Lihatlah, betapa banyak yayasan yang dibentuk oleh para entrepreneur sukses yang banyak menyumbang bagi kemajuan pendidikan. Entrepreneur juga menciptakan lapangan pekerjaan yang amat dibutuhkan masyarakat luas, terutama di musim krisis, seperti sekarang ini. Atau, amatilah sistem bisnis seperti multi level marketing (MLM) yang memberi manfaat bagi begitu banyak orang, bahkan hingga lintas negara. Salut!
Yang berbahaya adalah ketika si entrepreneur mendewakan uang dan menjadi serakah. Uang bukan segalanya tapi uang penting untuk menopang hidup. Siapa yang bisa hidup tanpa uang? Sebuah lembaga sosial pun amat memerlukan uang untuk kegiatan operasionalnya, Memang, menurut ajaran agama, Tuhan mencintai orang miskin tapi Tuhan pun mencintai orang kaya yang memberi makan, minum, pakaian, tumpangan, dsb kepada orang miskin.
Johanes Lim dalam bukunya Just Duit! menekankan bahwa uang bukanlah tujuan hidup, melainkan alat atau media untuk mencapai tujuan. Apa tujuannya? Menjadi lebih berguna bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain. Ini amat masuk akal. Jika kita kekurangan uang, bagaimana kita mampu menolong orang lain? Wong menolong diri sendiri aja susahnya bukan main.
Jadi, kalau kekayaan tidak dapat membeli kebahagiaan, maka apakah kemiskinan dapat? Tidak sedikit keluarga yang berantakan, istri menjual diri atau bahkan dijual sama sang suami lantaran ekonomi keluarganya yang amat sulit. Saya sama sekali tidak anti orang miskin, tapi saya ingin sekali memerangi kemiskinan. Dan, salah satu jalan memerangi kemiskinan adalah dengan menjadi entrepreneur unggulan. Menjadi orang kaya. Semakin kaya kita, semakin banyak berkat yang bisa kita bagikan kepada sesama sebagai wujud cinta kita kepada Sang Pemberi Hidup.
Jadilah orang kaya yang mandiri, tidak bergantung pada siapa pun kecuali Tuhan. Berjalanlah bersama-Nya sepanjang hidup ini maka kita tak akan salah langkah. Berjalanlah di jalur yang ditunjukkan-Nya. Sebuah cerita mungkin lebih dapat menjelaskan maksud saya.
Ada seorang pemuda yang bermimpi ketika ia berjalan di tepi pantai, ia selalu melihat dua pasang kaki. Satu pasang adalah miliknya, satu pasang lagi milik Tuhan. Namun ketika ia diterpa derita, yang dilihatnya hanya satu pasang kaki. Ia merasa ditinggalkan Tuhan. Ia berdoa dan bertanya, “Tuhan, Tuhan… mengapa Engkau meninggalkan aku? Padahal Engkau pernah berjanji akan selalu menemani perjalanan hidupku.” Dan, dengan lembut Tuhan menjawab, “Anakku yang tersayang, Aku akan selalu menyayangimu. Aku Allah yang setia, tak pernah ingkar janji. Ketika engkau dalam kesusahan, engkau memang hanya dapat melihat sepasang kaki dan itu adalah kaki-Ku karena aku sedang menggendongmu agar tidak tersandung batu.” Sungguh, sebuah cerita yang amat menggetarkan hati
Pesan saya, apabila kelak kita menjadi entrepreneur sukses, maka manfaatkanlah uang kita sebaik–baiknya. Bermurah hatilah. Bukan dalam arti selalu memberikan uang kepada pengemis di pinggir jalan (karena dalam hal tertentu itu amat tidak mendidik dan banyak pengemis gadungan yang malas bekerja) tapi salurkan bantuan kita secara tepat. Mungkin salah satu langkah yang bijak adalah dengan ikut membangun pendidikan demi mencerdaskan bangsa. Tanpa kecerdasan, bangsa ini akan tetap bodoh. Tak ada kecerdasan, tak ada kemajuan!
Atau jika kita ingin mewujudkan masyarakat wirausaha (entrepreneurial society) di negeri yang angka penganggurannya makin memprihatinkan ini maka saran dari Purdi Chandra, bos Primagama Group patut dipertimbangkan: jadilah Mega Entrepreneur. Tularkan virus–virus kewirausahaan kepada orang terdekat yang selama ini amat berjasa membesarkan perusahaan yaitu para karyawan.
Menjadi Mega Entrepreneur adalah salah satu cara melaksanakan tanggung jawab sosial untuk melahirkan entrepreneur–entrepreneur baru. Biarkan karyawan punya bisnis sambilan di luar jam kerja, asal tidak sejenis dengan usaha kita dan ia harus tetap komit terhadap tugasnya sebagai karyawan. Bila perlu bantu permodalannya dengan sistem bagi hasil (profit sharing) atau dorong mereka untuk buka usaha sendiri.
Jika usaha yang mereka bangun sejenis maka itu akan mencipatakan iklim persaingan sehat yang mengarah kepada efisiensi. Jika mereka kemudian sukses, bukankah itu akan memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran?
Mendorong karyawan menjadi entrepreneur baru itu ibarat memberikan pancing. Stephen Covey pernah berkata, “Jika ikan yang kita beri maka kita hanya memberinya makan sehari. Jika pancing yang kita berikan maka kita memberinya makan seumur hidup.” Pandangan Covey ini disempurnakan oleh Raymond Kao, “Seandainya kita memberinya pancing kemudian mendidik cara memancing, sekaligus menanamkan tanggung jawab moral, maka berarti kita ikut membangun negara.”
Pesan bermakna lebih luas yang patut kita renungkan datang dari Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric. “Misi seorang entrepreneur adalah mengentaskan kemiskinan, menyelamatkan masyarakat secara keseluruhan dari akibat–akibat kemiskinan serta mengusahakan kesejahteraan umum. Para entrepreneur juga harus mampu berbagi rasa dalam menciptakan masyarakat yang kaya secara spiritual dan berkecukupan secara material,” katanya. Sebuah cita–cita yang mulia, bukan?

No comments: