Awalnya hanya karena iseng nyamber twitnya mas Siwo @yuswohady, akhirnya
saya diajak untuk ikutan sharing buku barunya sembari buka puasa di
kantornya mas @Handoko_h “Brand Gardener” di Darmawangsa Square kemarin
malam. Menyenangkan sekali ketemu teman-teman baru dan lingkungan baru.
Teman-teman dari bidang marketing dan branding.
Mas Siwo mengawali sharing buku yang diberi judul “Consumer 3000” ini
dengan menggambarkan bahwa Indonesia akan memasuki suatu dunia yang sama
sekali baru, a whole new world.
Saya tidak akan sharing di sini detil tentang definisi dan ciri-ciri
Consumer 3000 dan segmentasi kelas menengah tersebut. Silakan beli buku
luar biasa yang ditulis berdasarkan riset dan pengamatan penulis dan
timnya selama hampir dua tahun ini.Consumer 3000 artinya perilaku
konsumen dari negara yang pendapatan per kapita GDP-nya mencapai $3000.
Angka itu adalah batas masuknya suatu negara ke pendapatan menengah.
Contoh nyata adalah Korea Selatan dan China. Begitu menembus GDP $3000,
pertumbuhan ekonominya setelah itu menjadi sangat fenomenal.
Faktanya bahwa kelas menengah Indonesia saat ini sudah menggelembung
menjadi 60% dari total penduduk. Kelas menengah ini akan jadi lokomotif
pertumbuhan ekonomi yang powerful. Revolusi kelas menengah ini akan
menciptakan tsunami perubahan konsumen baru, peta kompetisi baru dan
lanskap bisnis baru.
Mereka punya disposal income, dana menganggur, setelah kebutuhan pokok
dan sekunder mereka terpenuhi. Dengan dana itu mereka membeli produk dan
jasa advance, seperti mobil, gadget terbaru, asuransi, liburan, dan
lain-lain.
Tidak heran Jakarta bertambah macet, bandara Soeta padatnya sudah
seperti Terminal Pulo Gadung, tempat liburan mahal penuh, sekolah taraf
internasional bermunculan, smartphone dan Blackberry laris seperti
kacang goreng.
Tentunya dibutuhkan produsen yang mampu memenuhi permintaan pasar yang
demikian tinggi. Masalahnya sekarang, siapa yang akan mengisi permintaan
tersebut?
China dengan sistem komunisnya berhasil menggiring kelas menengahnya
naik kelas menjadi makmur. Pemerintahnya memproteksi produk luar agar
tidak masuk, sehingga kelas menengah menyerap produk dalam negeri. Dari
kita untuk kita. Akibatnya, industri di China berjaya. Ekonomi mereka
bisa mandiri. Di samping itu, negara mendorong kelas menengah menetap di
pedesaan bukan perkotaan, sehingga infrastruktur dan kemakmuran lebih
merata.
Indonesia, menurut mas Siwo tidak akan bisa dibuat berkembang dengan
sistem seperti China. Perkembangan di sini akan mengikuti mekanisme
pasar. Masalahnya, produsen luar negeri juga melihat Indonesia adalah
pasar yang sangat menggiurkan. Bisnis-bisnis raksasa merangsek masuk, di
semua bidang, bisnis online, perbankan, asuransi, otomotif, kuliner,
bisnis franchise, dan lain-lain. Pernah saya tulis di blog saya, ada dua
tulisan, di sini dan di sini.
Nah pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita rela pasar yang begitu
besar ini diisi oleh produk-produk luar negeri dan devisa yang besar
melayang ke luar?
Yang mau saya garis bawahi adalah pernyataan Mas Siwo, bahwa sekarang
adalah saat yang tepat untuk kita menjadi entrepreneur. Pasar begitu
besar. Kasarnya, bisnis apa pun pasti akan laku. Tidak ada waktu yang
lebih tepat untuk menjadi entrepreneur selain sekarang.
Inilah saatnya Indonesia butuh banyak entrepreneur. Untuk menghadang
gempuran bisnis asing, untuk memutar roda perokonomian, sehingga devisa
bisa diputar di sini, tidak diboyong ke luar negeri. Diharapkan, secara
ekonomi kita bisa mandiri. Ini kesempatan emas untuk produk lokal
menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Keuntungan lain adalah, entrepreneur dari kelas menengah dengan usaha
UKM-nya ini, lebih bisa memberikan dampak langsung dalam mengentaskan
kemiskinan dibanding entrepreneur besar. Karena tenaga kerja dari usaha
UKM adalah kelas bawah, yang nantinya akan membuat mereka terangkat
kelasnya, dari bawah menjadi kelas menengah baru.
Dan melihat sepak terjang Pemerintah selama ini dalam pengembangan
kewirausahaan, tampaknya entrepreneur kita tidak bisa berharap banyak.
Untuk itu sangat dibutuhkan peran komunitas-komunitas wirausaha
independen seperti Tangan Di Atas (TDA), agar semangat wirausaha cepat
menular dan mewabah, serta terciptanya pembinaan berkesinambungan. Mas
Siwo pribadi menganggap komunitas TDA adalah aset bangsa yang lebih
berharga dari pada kementerian atau departemen berwenang yang cuma omdo
dalam peningkatan kewirausahaan Indonesia... hehe.
Dari satu kondisi ke kondisi baru, selalu akan diikuti
kondisi chaotic sebelum mencapai keseimbangan baru. Masa transisi GDP
$3000 ini menimbulkan “gempa tektonik” terutama dalam lanskap bisnis,
yang akan memunculkan banyak peluang. Dibutuhkan
entrepreneur-entrepreneur jeli dan kreatif untuk meraih peluang besar
tersebut. Andakah itu?
.
Depok 9 Agustus 2012
Muadzin F Jihad
No comments:
Post a Comment