09 August 2012

Jadilah Entrepreneur. Sekarang.


Awalnya hanya karena iseng nyamber twitnya mas Siwo @yuswohady, akhirnya saya diajak untuk ikutan sharing buku barunya sembari buka puasa di kantornya mas @Handoko_h “Brand Gardener” di Darmawangsa Square kemarin malam. Menyenangkan sekali ketemu teman-teman baru dan lingkungan baru. Teman-teman dari bidang marketing dan branding.

Mas Siwo mengawali sharing buku yang diberi judul “Consumer 3000” ini dengan menggambarkan bahwa Indonesia akan memasuki suatu dunia yang sama sekali baru, a whole new world.

Saya tidak akan sharing di sini detil tentang definisi dan ciri-ciri Consumer 3000 dan segmentasi kelas menengah tersebut. Silakan beli buku luar biasa yang ditulis berdasarkan riset dan pengamatan penulis dan timnya selama hampir dua tahun ini.Consumer 3000 artinya perilaku konsumen dari negara yang pendapatan per kapita GDP-nya mencapai  $3000. Angka itu adalah batas masuknya suatu negara ke pendapatan menengah. Contoh nyata adalah Korea Selatan dan China. Begitu menembus GDP $3000, pertumbuhan ekonominya setelah itu menjadi sangat fenomenal.

Faktanya bahwa kelas menengah Indonesia saat ini sudah menggelembung menjadi 60% dari total penduduk. Kelas menengah ini akan jadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang powerful. Revolusi kelas menengah ini akan menciptakan tsunami perubahan konsumen baru, peta kompetisi baru dan lanskap bisnis baru.

Mereka punya disposal income, dana menganggur, setelah kebutuhan pokok dan sekunder mereka terpenuhi. Dengan dana itu mereka membeli produk dan jasa advance, seperti mobil, gadget terbaru, asuransi, liburan, dan lain-lain.
Tidak heran Jakarta bertambah macet, bandara Soeta padatnya sudah seperti Terminal Pulo Gadung, tempat liburan mahal penuh, sekolah taraf internasional bermunculan, smartphone dan Blackberry laris seperti kacang goreng.

Tentunya dibutuhkan produsen yang mampu memenuhi permintaan pasar yang demikian tinggi. Masalahnya sekarang, siapa yang akan mengisi permintaan tersebut?

China dengan sistem komunisnya berhasil menggiring kelas menengahnya naik kelas menjadi makmur. Pemerintahnya memproteksi produk luar agar tidak masuk, sehingga kelas menengah menyerap produk dalam negeri. Dari kita untuk kita. Akibatnya, industri di China berjaya. Ekonomi mereka bisa mandiri. Di samping itu, negara mendorong kelas menengah menetap di pedesaan bukan perkotaan, sehingga infrastruktur dan kemakmuran lebih merata.
Indonesia, menurut mas Siwo tidak akan bisa dibuat berkembang dengan sistem seperti China.  Perkembangan di sini akan mengikuti mekanisme pasar. Masalahnya, produsen luar negeri juga melihat Indonesia adalah pasar yang sangat menggiurkan. Bisnis-bisnis raksasa merangsek masuk, di semua bidang, bisnis online, perbankan, asuransi, otomotif, kuliner, bisnis franchise, dan lain-lain. Pernah saya tulis di blog saya, ada dua tulisan, di sini dan di sini.

Nah pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita rela pasar yang begitu besar ini diisi oleh produk-produk luar negeri dan devisa yang besar melayang ke luar?

Yang mau saya garis bawahi adalah pernyataan Mas Siwo, bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk kita menjadi entrepreneur. Pasar begitu besar. Kasarnya, bisnis apa pun pasti akan laku. Tidak ada waktu yang lebih tepat untuk menjadi entrepreneur selain sekarang.
Inilah saatnya Indonesia butuh banyak entrepreneur. Untuk menghadang gempuran bisnis asing, untuk memutar roda perokonomian, sehingga devisa bisa diputar di sini, tidak diboyong ke luar negeri. Diharapkan, secara ekonomi kita bisa mandiri. Ini kesempatan emas untuk produk lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Keuntungan lain adalah, entrepreneur dari kelas menengah dengan usaha UKM-nya ini, lebih bisa memberikan dampak langsung dalam mengentaskan kemiskinan dibanding entrepreneur besar. Karena tenaga kerja dari usaha UKM adalah kelas bawah, yang nantinya akan membuat mereka terangkat kelasnya, dari bawah menjadi kelas menengah baru.

Dan melihat sepak terjang Pemerintah selama ini dalam pengembangan kewirausahaan, tampaknya entrepreneur kita tidak bisa berharap banyak. Untuk itu sangat dibutuhkan peran komunitas-komunitas wirausaha independen seperti Tangan Di Atas (TDA), agar semangat wirausaha cepat menular dan mewabah, serta terciptanya pembinaan berkesinambungan. Mas Siwo pribadi menganggap komunitas TDA adalah aset bangsa yang lebih berharga dari pada kementerian atau departemen berwenang yang cuma omdo dalam peningkatan kewirausahaan Indonesia... hehe.

Dari satu kondisi ke kondisi baru, selalu akan diikuti kondisi chaotic sebelum mencapai keseimbangan baru. Masa transisi GDP $3000 ini menimbulkan “gempa tektonik” terutama dalam lanskap bisnis, yang akan memunculkan banyak peluang. Dibutuhkan entrepreneur-entrepreneur jeli dan kreatif untuk meraih peluang besar tersebut. Andakah itu?

.
Depok 9 Agustus 2012
Muadzin F Jihad

No comments: