09 January 2011

Rhenald Kasali: Kenshusei

MINGGU, 28 November 2010, temperatur di Osaka
menunjuk angka 11 dalam hitungan Celcius tatkala matahari bersinar menembus
langit biru kota
dagang ini.
Hari itu ratusan anak-anak muda asal Indonesia
berkumpul di Higashi
Sumiyoshi City
Hall . Usia mereka berkisar antara 25 sampai 35
tahun. Pukul 09.00,Konsul Republik Indonesia di Osaka, Ibnu Hadi, membuka
pertemuan dengan singkat. Dia mengajak anak-anak muda itu menjadi wirausaha
untuk membangun negeri. Siapakah anak-anak muda itu? Mereka itulah rombongan
yang di Jepang dikenal dengan
sebutan 'kenshusei' atau pekerja magang. Kulit mereka legam,tangan mereka
keras.
Pertanda biasa bekerja di lapangan. Sepanjang satu hari itu tak seorang pun
terlihat mengantuk. "Bekerja di sini dituntut berdisiplin, " ujar
seorang di antara mereka. Adalah Asa Perkasa, GM Garuda Indonesia Osaka yang mengajak
saya dan tim instruktur Rhenald Kasali School
for Entrepreneurs (RKSE) bertandang ke kota
dagang ini. Setahun lalu dia membujuk saya membantu para kenshusei itu keluar
dari tradisi bekerja agar mau menjadi wirausaha.
Garuda Indonesia
sendiri berkepentingan dengan mereka karena merekalah pelanggan setia
airlinesnasional ini. Kalau mereka berbisnis di Indonesia yang ada hubungan dengan
Jepang, sudah pasti Garuda pula yang dicari. Demikian pula BNI dan Bank Indonesia .
BNI berkepentingan sehingga mendukung program ini karena mereka juga nasabah
BNI untuk remittance ke Indonesia .
Beban Negara
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air saya sempat berbincangbincang dengan
rombongan sekitar 27 orang kenshusei asal Jawa Barat yang kebetulan satu
pesawat. Mereka ini baru saja menyelesaikan program selama tiga tahun di atas
kapal. Kerjanya menangkap dan membersihkan ikan di perairan Jepang. Setiap hari
mereka memancing dan menebar jala. "Berapa uang yang kalian bawa
pulang?" tanya saya menyelidik. "Kalau rajin dan tak boros lumayan
Pak,"jawab mereka.
Yang dimaksud lumayan itu adalah Rp400–500 juta, hasil keringat selama
tiga tahun bekerja. Jelas lumayan buat lulusan SMU yang masih membujang. Bagi
yang boros, paling-paling hanya membawa pulang pengalaman plus uang saku
sekitar Rp50 juta. Lantas uangnya dipakai untuk apa? Di antara mereka juga ada
sarjana. Dari berbagai ungkapan perasaan mereka di internet, saya membaca
ternyata sebagian besar kenshusei memilih menjadi pekerja kembali di Tanah Air,
atau bolak-balik ke kedutaan mengurus visa agar bisa kembali bekerja di Jepang.
Ada satu dua
orang yang membuka bengkel atau toko handphone. Tetapi kisah yang disampaikan
adalah kisah-kisah kegagalan. Usaha yang mereka bangun tidak berhasil, dan
jadilah mereka pengangguran dengan seribu satu umpatan kegagalan. Anak-anak
muda yang sudah dilatih dengan penuh disiplin ini kembali menjadi beban bagi
negara. Padahal sebagian besar mereka mampu berbahasa Jepang dengan lebih baik.
Disiplin yang mereka miliki juga di atas rata-rata karena mereka bekerja dengan
pemilik usaha yang juga petani, nelayan, atau UMKM Jepang. Kalau malas mereka
langsung dipulangkan. Mereka ini berpotensi besar bukan sekadar menjadi
entrepreneur biasa,melainkan technopreneur. Ya, technopreneur. Di Jepang mereka
biasa melihat dan bekerja dengan orang-orang yang sangat pragmatis, simpel,
problem solver, dan inovator. Begitu ada masalah, mereka segera pecahkan dan
buatkan alatnya.
Alat-alat itu mereka patenkan dan dipasarkan secara luas. Saya masih ingat,
malam itu Konsul Jenderal Ibnu Hadi memperkenalkan kami dengan seorang inventor
yang membutuhkan mitra usaha di Indonesia .
Kebetulan di RKSE banyak mendidik calon-calon wirausaha dan yayasan yang kami
kelola tertarik menangani kegiatan yang berhubungan dengan tema lingkungan dan
recycle. Hanya saja, bahasa Inggris mereka sulit kami tangkap. Sekarang
bayangkan kalau para kenshusei itu bisa kita bentuk menjadi usahawan-usahawan
baru. Saya kira mereka akan berhasil kalau mendapatkan bimbingan yang tepat.
Kenshuseipreneur
Rekan saya, Sunaryo Suhadi, seorang wirausaha senior, pemilik usaha di bidang
energi dengan aset sebesar Rp12 triliun di Jawa Timur, sudah
gatal ingin segera menangani anak-anak muda ini. Dia menawarkan
"virus" kewirausahaan, yang kalau terjangkit biasanya membuat mereka
yang mengikuti pelatihan ini tak bisa tidur.Sore harinya,anakanak muda yang
kami beri nama kenshuseipreneur ini mengaku jantungnya sudah berdegup keras dan
ingin segera memulai.
Tetapi kami selalu mengingatkan pentingnya menaklukkan diri sendiri dan memulai
usaha dari kecil. Bukan langsung menggelontorkan uang ratusan juta. Semua harus
dimulai dengan kejelian dan waktu belajar yang cukup. Sebab, setiap permulaan
itu pasti sulit dan butuh keuletan. Di RKSE, setiap alumnus dibimbing bukan
hanya oleh para mentor, melainkan juga sesama alumnus yang sekarang bisnisnya
mulai kelihatan. Ketika kewirausahaan telah menjadi topik yang hot,di luar sana
tentu ada ribuan predator yang siap "menerkam"mereka dengan janji
yang muluk-muluk.
Belum lagi janji-janji instan dan "cara cepat menjadi kaya" yang
belakangan banyak sekali Anda temui di toko-toko buku, internet, dan tawaran
sehari-hari via Facebook,
SMS,dan sebagainya. Saya selalu mengingatkan berhati-hatilah terhadap
penipupenipu yang memberi janji sangat indah seperti itu. Sebab, bila seorang
(penipu) yang berpengalaman bertemu dengan seorang yang punya uang selalu akan
terjadi pertukaran: yangpunya uangakanmendapatkan pengalaman (yaitu tertipu)
dan yang punya pengalaman akan mendapatkan uang si tertipu.
Kenshusei masih sangat muda. Menurut pembina mereka, setiap tahun ada sekitar
4.000 orang yang magang bekerja di Jepang. Jumlah ini tentu masih sedikit,
tetapi sangat berarti untuk membangun Indonesia . Di Pulau Bali, setiap
tahun ada 40.000 orang turis asal Jepang yang berlibur dan sebagian memilih
tinggal dan bekerja di sana .
Mereka butuh penerjemah dan merasa nyaman bila dikelilingi orang-orang yang
mampu berbicara dalam bahasa mereka.
Saat ini para pensiunan Jepang sedang berada dalam tekanan ekonomi biaya tinggi
sehingga jutaan di antara mereka tengah mencari tempat untuk mengisi hari tua
mereka di negeri lain yang biaya hidupnya lebih murah. Saya mendengar, Pemerintah Filipina , Vietnam ,
dan Taiwan
telah memberi mereka lokasi beserta fasilitasfasilitasn ya, lengkap dengan visa
yang berdurasi panjang untuk para manula berkantong tebal ini. Saya mendengar
pula mereka sudah lama menanyakan Indonesia . Andaikan kenshuseiini
bisa kita bentuk menjadi usahawan, dan mereka terpanggil untuk berubah, maka
jalan pun terbuka lebar.Asalkan sabar dan pemerintah mendukungnya. (*)
* RHENALD KASALI, Ketua Program MM UI

No comments: