18 November 2010

KISAH SUKSES: Diah Andini, Bisnis Kue Kering & Penggerak Pengangguran

by Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia

Dalam menjalankan bisnis kue kering, Diah Andini menerapkan sistem produksi ramah lingkungan. Ia membuat sumur resapan untuk menampung limbah. Diah juga memberi lapangan kerja bagi banyak pengangguran di lingkungannya.

Diah Andini adalah sosok wanita yang patut dicontoh. Betapa tidak. Untuk membantu usahanya dalam berniaga kue kering, wanita yang akrab disapa Andini ini memberdayakan para pengangguran yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya di Desa Bojong Koneng, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Eloknya, dalam menjalankan usahanya yang telah dirintis sejak tujuh tahun silam itu, Andini menerapkan sistem produksi ramah lingkungan. Contohnya, ia membuat sumur resapan di pabriknya untuk menampung limbah hasil produksi kue keringnya. Jadi, selain memberi manfaat ekonomi bagi lingkungan sekitar, usaha yang ditekuni Andini juga ramah lingkungan lantaran tidak meninggalkan bau tak sedap.

Manajemen produksi seperti itulah yang akhirnya mengantarkan Andini meraih penghargaan sebagai Social Entrepreneur di ajang BNI-Femina tahun 2009 lalu.

Andini mengaku, dirinya tidak menyangka bisnis kue keringnya bakal berkembang seperti saat ini. Maklum, saat awal membuka usaha kue, Andini tidak yakin dengan kondisi fisiknya ketika itu. Gara-garanya, dokter memvonis perempuan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran ini menderita penyakit jantung menjelang akhir studinya. “Saya sempat stres. Ibu saya lalu menyarankan agar saya berbisnis supaya bisa menenangkan pikiran,” kenang Andini.

Karena sejak kecil sering membantu sang ibu membuat kue kering, Andini memutuskan memulai bisnis kue kering.

Bermodalkan pinjaman dari ibunya, dia mulai merintis usaha kue kering. Bendera usahanya adalah Difa Cookies.

Pada tahap awal, ia mempekerjakan delapan ibu rumah tangga di sekitar rumahnya. Perempuan kelahiran 2 Juni 1975 ini mengisahkan, awalnya cukup berat mempekerjakan mereka. Yang tersulit adalah mengubah kebiasaan hidup karyawannya, baik dari sisi kebersihan maupun kedisiplinan dalam bekerja.

Itu sebabnya, sebelum resmi mempekerjakan mereka, Andini melakukan pelatihan awal selama sepekan. Salah satu hal yang ia tekankan adalah membuat standar operasional untuk melatih kedisiplinan para karyawan. “Awalnya untuk menerapkan kebersihan dan kedisiplinan pada diri sendiri saja berat, tapi sekarang bahkan ada yang menerapkannya sampai ke lingkungan rumah mereka,” tutur ibu dua anak ini.

Jadi, pelatihan kerja yang ia terapkan pada karyawannya tidak sia-sia. Kini, Andini telah merekrut 25 warga sekitar Bojong Koneng menjadi pekerja tetap Difa Cookies. Bahkan, saat pesanan melonjak menjelang Lebaran atau hari raya lainnya, dia mempekerjakan 80-120 orang tetangganya.

Dengan mempekerjakan warga, Andini pun bisa mengangkat perekonomian warga di desanya yang termasuk salah satu desa tertinggal di Jawa Barat. “Dengan bekerja di sini, mereka bisa menambah pendapatan bagi keluarganya. Selain itu, tindak kejahatan juga bisa diminimalkan,” ujar Andini.

Andini menuturkan, tahun lalu Difa Cookies berhasil meraup omzet Rp 900 juta. Setiap tahun penjualan kue keringnya meningkat sekitar 15%-20%. Konsumennya berasal dari Bandung, Jakarta, Balikpapan, Kuala Lumpur, hingga Brunei Darussalam.

Ke depan, perempuan kelahiran Semarang ini akan merintis sistem plasma di kampung tempat pabrik mininya beroperasi. Nantinya, beberapa warga akan dikelompokkan untuk memproduksi kue kering sendiri. Andini akan membantu memasarkan hasil produksi mereka. “Saya ingin mereka tidak tergantung terus pada pabrik saya yang kecil ini,” katanya merendah.

Sumber: kontan.co.id

12 November 2010

KISAH SUKSES: William Soerjadjaja, Andalkan Resep Saling Memberi

Tanggal 15 Januari merupakan tanggal bersejarah untuk pasangan William Soeryadjaya dan Lily Anwar. Pasangan taipan yang menikah di Bandung tahun 1947 itu merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-60. Kepada Pembaruan, mereka membagi nostalgia cinta di masa silam.

William adalah anak kedua dari enam bersaudara. Namun dalam keluarga, dia anak laki-laki tertua. Ketika masih kecil, dia sudah menjadi yatim piatu. Itulah sebabnya Wiliam alias Tjia Kian Liong tumbuh menjadi pria dewasa dan mandiri.

Saat masih sekolah di HCZS, sekolah dasar pada masa penjajahan Belanda, di Kadipaten, William kecil sempat tak naik kelas. Berkat ketekunan, dia dapat melanjutkan pendidikan ke MULO, sekolah tingkat lanjutan pertama, di Cirebon. Namun lagi-lagi, William tinggal kelas. Dari seluruh pelajaran, dia lebih menyukai ekonomi dan tata buku. Kelak, dua pelajaran itulah menunjukkan bakatnya membangun usaha.

Bulan Oktober 1934, ayahnya dipanggil menghadap Yang Kuasa. Awan duka belum hilang ketika ibu tercinta menyusul kepergian almarhum ayahnya pada Desember 1934. Sebagai anak laki-laki tertua, William melanjutkan usaha mendiang ayah berjualan hasil bumi. Bakat berdagang sang ayah rupanya menurun kuat pada William.

Beberapa tahun kemudian, William pindah ke Bandung, Jawa Barat. Di Kota Kembang itulah, pria kelahiran Majalengka, 20 Desember 1922 ini, menemukan jodohnya. Seorang gadis Tionghoa bernama Lily Anwar memikat hatinya. Kelak, gadis itulah yang menjadi pasangan hidupnya hingga kini di usia 85 tahun.

"Kami bertemu di Bandung sekitar tahun 1943. Waktu itu, Lily adalah anggota Chinese Red Cross yang diketuai Om Dollar, ayah mertua dari Rudi Hartono (pebulutangkis, Red)," ia mengenang.

Ketika bertemu Lily seolah langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Berikutnya, mereka kerap bertemu saat kegiatan Chinese Red Cross berlangsung. Setelah menjalin hubungan selama beberapa tahun, mereka memutuskan untuk serius. Pada usia 24 tahun, William menikahi Lily yang ketika itu hanya terpaut usia satu tahun. Sekalipun keamanan sedang tidak kondusif, William nekat menikahi sang kekasih.

"Begitu kami bertemu dan bertatap pandang, kami pun sama-sama jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama. Gadis itu lincah, cantik, dan menarik. Menurut cerita teman, dia banyak yang naksir," katanya.

Nikah Tanpa Tamu
Tampaknya Lily memang telah mencuri hati William. Di masa muda, Lily memang gadis supel yang pandai bergaul. Terus terang, William terpikat karena Lily cantik dan menarik. Pada 15 Januari 1947, mereka menikah secara sangat sederhana. Bahkan, William tidak melakukan proses lamaran.

"Kami ke kantor catatan sipil naik becak. Kami menikah tanpa dihadiri tamu undangan. Kami pun hanya mengenakan baju biasa saja. Benar-benar sangat sederhana. Tidak ada tukang potret yang hadir, itu sebabnya kami tidak punya potret pernikahan. Setelah selesai nikah, kami pulang ke Jalan Merdeka naik becak lagi," ia menambahkan.

Dari pernikahan itu, pasangan William dan Lily dikaruniai empat anak yakni Edward (21 Mei 1948), Edwin (17 Juli 1942), Joyce (14 Agustus 1950), dan Judith (14 Februari 1952). Kini, mereka sudah memiliki 10 cucu dan satu cicit. Dalam waktu dekat, salah seorang cucu akan melangsungkan pernikahan.

"Dia pandai mengurus dan mendidik anak-anak. Dia juga berani berkorban untuk membela anak-anak dan suka menolong orang- orang yang kekurangan. Hal seperti itu kerap mengharukan saya," puji William untuk istrinya.

Belum dua minggu menikah, William pergi ke Belanda dan terpaksa meninggalkan Lily di Bandung. Beruntung kemudian, Lily bisa menyusul. Tahun 1948, ketika Edward lahir, William dan Lily hidup dari berjualan kacang dan rokok paket kiriman dari Bandung. Meskipun tak punya uang banyak, mereka masih dapat menyewa satu kamar di salah satu hotel di Amsterdam.

Suatu ketika, mereka melakukan perjalanan ke Basell, Swiss. Dengan tiket yang dibeli dari hasil berjualan, mereka menumpang kereta api. Dalam perjalanan selama satu minggu itu, William, Lily, dan si mungil Edward, hanya makan roti, bubur, dan susu untuk berhemat. Hingga akhirnya, William memutuskan kembali ke Indonesia pada Februari 1949. Kenangan-kenangan seperti itulah yang makin melekatkan hubungan kasih William dan Lily.

Di atas kapal laut yang membawa mereka pulang, William kembali mengalami kejadian yang cukup menakutkan. Si kecil Edward yang gemar makan cokelat tiba-tiba tersedak. Sampai-sampai tidak bisa bernapas. William sempat panik dan kebingungan, namun Lily tetap tenang dan sigap.

"Edward cepat-cepat dijungkalkan ibunya. Punggungnya ditepuk-tepuk dengan keras. Cokelat itu akhirnya bisa keluar. Namun kejadian mencemaskan itu tidak bisa saya lupakan," kenang tokoh pendiri perusahaan Astra itu.


Resep Langgeng
William menyebutkan resep kelanggengan rumah tangganya adalah hanya kemauan untuk saling memberi. Itulah sebabnya, kadang mereka sering bepergian bersama. Meskipun tidak terlalu mahir, Lily dulu cukup sering menemani William saat bermain tenis. Namun hubungan mereka bukan selalu harmonis. Bak dalam sinetron, kadang mereka juga bertengkar sebagaimana layaknya suami istri.

"Paling-paling ribut soal anak. Yang nakal, anak yang paling tua.

Tapi biasa saja, kalau tidak ribut itu bukan perkawinan. Kalau dia sedang marah, saya pergi saja daripada berkelahi," kelakar kakek berusia 85 tahun yang masih gemar makan sate kambing dan durian itu.

Menurut Lily, resep menjaga keharmonisan rumah tangganya selama 60 tahun adalah berupaya saling memahami antara suami dan istri. Sebagai pasangan, mereka harus bekerja sama. Itulah sebabnya, permintaan suami sedapat mungkin ditindaklanjuti. Begitu pula sebaliknya.

"Dasarnya jangan melanggar asas kepercayaan. Suami dan istri haruslah saling mempercayai. Tentu saja, kita juga harus mengikuti ajaran yang telah ditetapkan Tuhan. Walaupun dididik orangtua untuk hidup mandiri dan hidup berdikari, dalam ikatan pernikahan sesuai nilai aturan kehidupan berkeluarga, saya tetap mengacu dan bekerja sama dengan suami," tutur wanita kelahiran Bandung yang pernah mengelola perusahaan batik orangtuanya di Yogyakarta.

Lily menambahkan suami istri harus saling bertanggung jawab dan bersama -sama merawat anak. Sebagai istri, dia memang lebih banyak membantu mengurusi anak-anak, karena suami sibuk dalam mengurus pekerjaannya. Tetapi Lily sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena kerja keras sang suami akhirnya bisa membangun perusahaan seperti Astra dan memberikan lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

"Kehidupan merupakan anugerah dari Tuhan dan kami berupaya untuk hidup sesuai dengan ajaran kristiani dalam keluarga, walaupun itu tidak mudah! Kami tetap harus mengucapkan syukur kepada Tuhan pada masa suka dan masa sulit," ia menambahkan.

Hingga kini, William dan Lily masih senang bepergian. Bahkan Lily cukup sering bepergian sendiri atau dengan teman. Sehari-hari, mereka nyaris tak pernah bisa tinggal diam. William dan Lily kerap mendatangi kantor di bilangan Jalan Sudirman. Tepat 15 Januari ini, mereka akan merayakan pesta pernikahan di sebuah hotel di Jakarta.

"Sebetulnya kami tidak aware bahwa mau dirayakan 60 tahun perkawinan. Sesungguhnya semua ini tidak lain adalah pemberian Tuhan semata. Dari mana lagi, kita mengharapkan sesuatu kalau bukan dari Tuhan? Maka dari itu kita mesti bersyukur," sambung William. [Pembaruan, 15 Januari 2007/Unggul Wirawan dan Willy Hangguman] ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Memperbaiki Pendingin Udara Kereta - Edisi Malaysia



Product ID : 9789673711017
Format : Paperback
Author : Juni Handoko
Editor : Rosmawi Md Hassan
Publisher : Synergy Media
Publish Date : 01-OCT-2010
Main Category : MALAY GENERAL BOOKS
Sub Category : MALAY-GB OTHERS
Price : RM 21.50*
Gangguan pada sistem AC berlaku disebabkan oleh pelbagai faktor, salah satu faktor penyebabnya ialah kurangnya penjagaan dan perawatan.

Buku ini menjelaskan secara terperinci komponen dan fungsinya, jenis kerosakan dan cara membaikinya, serta petunjuk servis dan perawatan.

Memperbaiki Pendingin Udara - Edisi Malaysia


Product ID : 9789673711000
Format : Paperback
Author : Juni Handoko
Editor : Nazrah bt Mat Noh
Publisher : Synergy Books
Main Category : MALAY GENERAL BOOKS
Sub Category : M-HOME DECO/IMPROVEMENT
Price : RM 19.50*

07 November 2010

KISAH SUKSES: Adi Kusuma, Pendiri Biznet

by Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia

Adi Kusuma sudah akrab dengan komputer sejak kecil. Ia pun sempat dijuluki kuper lantaran lebih suka bergumul dengan komputer. Namun tidak sia-sia, kegemarannya pada komputer telah membawanya sukses menjadi techno entrepreneur. Kini, perusahaan penyedia jasa broadband internet yang dirintisnya bisa bertahan dan terus berkembang, kendati harus bersaing keras.

Hampir setiap hari, kita dihujani tawaran koneksi internet yang kencang bin murah. Tawaran bertubi-tubi ini biasanya datang dari operator seluler. Bisnis dunia maya memang telah menjadi kontributor pendapatan operator. Pelanggan seluler yang hampir mencapai 100 juta orang, serta pengguna internet di Indonesia yang tahun lalu mencatat angka 25 juta, adalah pasar menggiurkan.

Padahal, sebelum operator ramai-ramai terjun di bisnis internet, sudah ada banyak perusahaan penyedia jasa internet alias internet service provider. Lantas, ke mana mereka sekarang? Beberapa perusahaan bisa tetap bertahan, namun banyak juga yang kalah bersaing harga dengan operator.

Untuk bisa bertahan, perusahaan penyedia jasa internet harus putar otak. Hal inilah yang dilakukan oleh Biznet. “Sebagai underdog, Biznet harus pintar mencari celah,” tutur Adi Kusma, pendiri Biznet.

Sesuai dengan namanya, sejak awal Biznet sudah membidik pasar perusahaan. Adi punya alasan sendiri ketika menyusun rencana bisnisnya. Menurut dia, perusahaan menggantungkan nasibnya pada sambungan internet, sehingga mereka lebih loyal. “Kalau sambungan internet mati, perusahaan kan rugi,” jelasnya. Ini berbeda dengan karakter pelanggan individual yang suka berganti-ganti penyedia internet.

Sekarang, Biznet memiliki sekitar 15.000 pelanggan. “80%-nya adalah pelanggan korporat,” ujar pria berusia 33 tahun ini. Pelanggan Biznet membayar tarif beragam, antara Rp 500.000 sampai Rp 10 juta sebulan.

Adi sendiri meyakini bahwa bisnis penyedia jasa internet punya prospek bagus. Adi memang sudah akrab dengan komputer sejak kecil. Ia pun suka mengutak-atik komputer.

Lulus SMA, Adi melanjutkan kuliah di Jurusan Teknik Industri, Oregon State University di USA. Pasalnya, orangtua Adi yang pengusaha ingin agar salah satu anaknya bisa melanjutkan bisnis baja mereka.

Tapi, Adi tak bisa meninggalkan dunia komputer. Selama kuliah di Amerika, ia juga ikut beberapa kursus software. Bahkan, saat kuliah, Adi diterima bekerja di Software House International, sebagai programer.

Adi kembali ke Indonesia setelah lulus kuliah, tahun 2000. Di Tanah Air, alih-alih meneruskan bisnis orangtuanya, Adi malah ingin mendirikan usaha sendiri. Ia menganggap bisnis penyedia jasa internet punya prospek yang sangat bagus di Indonesia. Maklum, waktu itu, pemainnya masih sedikit.

Jaringan sendiri

Berbekal modal US$ 5 juta, Adi yang waktu itu bekerja di salah satu perusahaan terafiliasi MID Plaza mencoba membuat jaringan wireless. Perusahaannya diberi nama Supra Primatama Nusantara, dengan merek dagang Biznet.

Awalnya, Adi hanya melayani internet broadband untuk tiga pelanggan, yakni tiga gedung di sekitar MID Plaza. “Waktu itu kecepatan aksesnya adalah 10 Mbps,” ujar Adi. Bandingkan dengan high speed packet access plus (HSPA+) yang bisa mencapai 21 Mpbs.

Lebih lagi, waktu itu infrastrukturnya hanya dimiliki PT Telkom. Jadi, Adi harus menyewa server dari luar negeri. Tambahan, “Menyewa bandwidth dari luar negeri masih sangat mahal, karena kabel laut yang masuk Indonesia sedikit,” kenang Adi lagi.

Sebenarnya, waktu Adi mendirikan Biznet, Indonesia sedang menggeliat untuk bangkit pasca-krisis moneter 1998. Waktu krismon, banyak perusahaan yang bangkrut, sehingga meninggalkan gedung. “Banyak perusahaan yang menahan pengeluaran mereka,” tutur Adi. Jadi, Adi harus meyakinkan para pelaku bisnis bahwa koneksi internet cepat sangat penting bagi perusahaan.

Lantaran biaya untuk sewa infrastruktur terbilang mahal, akhirnya, Adi memutuskan bahwa Biznet harus punya jaringan sendiri. Tujuan lain, dengan jaringan sendiri, dia bisa memberikan akses internet berkecepatan tinggi.

Maka, fokus Adi selanjutnya adalah membangun kabel optik milik perusahaan sendiri. Adi enggan berbagi angka, berapa modal yang ia tanamkan untuk jaringan ini. Namun, yang pasti pada tahun 2005, Biznet sudah menggunakan jaringan optik 10 kilometer di Jalan Sudirman.

Akses internet cepat ini ternyata bisa mendongkrak jumlah pelanggan Biznet. Pelanggan perusahaan, menurut Adi, cenderung memilih penyedia internet yang handal. Mereka tidak berorientasi pada harga layanan. “Percuma kalau harganya murah, tapi aksesnya tersendat-sendat,” celetuk Adi. Maka, Biznet pun tak ragu mematok harga premium.

Kini, Biznet sudah mengembangkan kabel optik sepanjang 1.100 km, dari Serang sampai Bali. Karyawan Biznet pun meningkat, dari hanya empat orang menjadi 200 orang. Biznet juga mengembangkan basis pelanggan individual.

Toh, Adi belum juga puas. Ia bilang Biznet sedang menyiapkan ekspansi di luar bisnis ISP. “Tapi, nanti tunggu saja tahun depan,” kata Adi berahasia.

Sumber: Kontan