Kucuran keringat dan rasa malu menjadi pemulung tak dia hiraukan karena keyakinan untuk meraih sukses.
Menjadi mahasiswa jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), tak membuat John Pieter malu dan risih untuk memungut serta mengumpulkan sampah plastik yang banyak berserakan di belakang kosnya di kawasan Geger Kalong Tengah, Kota Bandung, Jawa Barat.
Sampah-sampah plastik itulah yang menginspirasinya untuk membuka usaha pada 1987. Pada awal memulai usaha John berpikiran, jika dibandingkan harga gabah yang saat itu Rp600 per kg, harga limbah plastik di tingkat pengepul sudah mencapai Rp1.000 per kg.
Saat itu dia memantapkan diri untuk memulai bisnis daur ulang sampah plastik sambil tetap kuliah. Menurut John, seorang pengusaha sejati harus memiliki sifat visioner, memandang jauh ke depan, ditambah keyakinan diri pada usaha yang dilakukannya.
“Melihat perbandingan harganya yang begitu besar, saat itu saya yakin bisnis ini akan menghasilkan potensi besar. Dan perlu diingat, untuk menjalankannya bisnis ini tidak memerlukan modal sama sekali. Hanya dengan catatan, buang jauh-jauh perasaan malu,” tandas John saat ditemui di ruang kerjanya di Cipamokolan, Kota Bandung, belum lama ini.
Dibarengi kerja keras dan tak kenal lelah,usahanya makin maju. Hingga suatu hari ada surat kabar nasional memberitakan sosok John sebagai pengusaha sukses yang berangkat dari pemulung sampah plastik.
Hal ini berlanjut dengan adanya tawaran kucuran modal dari Mandiri Business Banking. Sejak saat itu John resmi menjadi nasabah Mandiri Business Banking.
“Modal yang saya terima benar-benar saya gunakan untuk menjalankan roda bisnis. Saat menerima kucuran modal itu, saya sudah memiliki mesin pengolah sampah dan sarana pendukungnya hingga tempat usaha. Jadi, saya berani menerima ajakan untuk bermitra dari Mandiri Business Banking sehingga kredit modal itu bisa digunakan secara optimal,” papar John.
Dengan bantuan modal dari Mandiri Business Banking, usaha John yang menggunakan nama Peka Group semakin berkibar. Biji plastik hasil olahannya menjadi primadona pengusaha yang banyak bergerak di bidang home industry.
“Mereka membeli produk saya untuk berbagai keperluan seperti bahan baku pembuatan tali plastik, tali rafia, helm, alat-alat rumah tangga, dan lainnya,” tutur ayah dari Yediza dan Ishak ini.
Keyakinan John menggeluti bisnis pengolahan sampah plastik semakin kuat karena keinginannya untuk menjadi orang kaya. “Saya berpikiran, jika jadi pekerja, meskipun lulusan dari kampus ternama, tidak berarti memberikan jaminan bisa menjadi orang kaya. Di pikiran saya hanyalah bagaimana caranya menjadi orang kaya melalui jalan yang benar,” ungkapnya.
John merasakan betul bagaimana aktivitasnya mengumpulkan satu per satu sampah plastik di halaman kosnya untuk dijual kepada pengepul. John mengungkapkan, kedua orang tuanya yang tinggal di Sumatera tidak mengetahui jika anaknya menjadi pemulung selepas kuliah.
“Tetapi, saat bertandang ke Bandung, orang tua saya pun akhirnya tahu jika selama ini saya menjadi pemulung. Saat melihat apa yang saya lakukan, mereka menangis karena sedikit pun tidak pernah terlintas dalam pikiran kedua orang tua saya jika anaknya harus memunguti sampah,” tutur lelaki asal Tanah Karo, Sumatera Utara itu.
Namun, hal itu tak menyurutkan langkah John untuk menekuni usaha yang telah dia rintis. Usahanya sedikit demi sedikit terus mengalami kemajuan dan dia memberanikan diri meminjam modal pada temannya sebesar Rp4 juta.
Dengan modal tersebut, akhirnya John menjadi seorang pengepul dan memindahkan tempat usahanya ke kawasan Cikutra, Kota Bandung. Di Cikutra John menyiapkan tempat khusus yang bisa ditinggali pemulung.
Namun, dia sering meninggalkan tempat usahanya karena harus kuliah dan kadang mengajar. Untuk itu, dia pun memercayakan kepada seseorang.
“Tanpa sepengetahuan saya, ternyata pemulung yang kerap tidur dan makan bersama itu menohok dari belakang. Sampah plastik yang sudah saya bayar kembali diambil. Modal saya pun habis,” kenangnya.
Kegagalan itu diakui John sebagai pengalaman paling berharga. Sebab, sejak kejadian itu, dia memutuskan untuk fokus menekuni bisnisnya. Aktivitas mengajar pun akhirnya dia lepaskan dan tempat usaha tersebut hanya ditinggalkan saat John kuliah.
John pun memantapkan diri menjadi pengusaha limbah plastik. Bisnis jual beli limbah plastiknya terus berkembang hingga bisa mempekerjakan tiga orang karyawan. Sadar usahanya terus berkembang pesat, setelah menyelesaikan kuliah John benar-benar tak ingin mencari pekerjaan sesuai ilmu yang dia peroleh di ITB.
Suami Ninik Maryani ini tetap berkeyakinan, usaha limbah plastik bisa mengantarkannya menjadi orang kaya. Selama ini John selalu berusaha menghasilkan produk yang berkualitas. Diawali dengan pemilahan, sampah plastik mengalami beberapa kali proses pembersihan untuk menghilangkan kotoran yang menempel.
Setelah itu, sampah plastik itu dipotong-potong kecil hingga akhirnya kembali dipisahkan berdasarkan titik lelehan melalui proses pemanasan. Ditanya nilai omzetnya kini, John tidak bersedia mengungkapkan. Begitu pula dengan total aset yang dia miliki. “Lumayan lah, yang pasti usaha ini hingga kini terus berkembang,” kata John singkat.
Kini, setelah lebih dari 20 tahun menjalankan usaha limbah plastik, John menyerahkan kepada orang-orang kepercayaannya untuk mengelola. John juga telah membuka cabang usaha biji plastik di Makassar, Medan, dan Banjarmasin.
Selain itu, dia juga mendirikan pabrik pengolahan biji plastik di kawasan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. “Hasil produksi di beberapa daerah tersebut semua dikirim ke Bantar Gebang,” katanya.
Banyaknya cabang itu sampai membuat John tak tahu persis berapa jumlah seluruh karyawannya. Tidak ketinggalan, John melibatkan sang istri yang juga teman satu almamaternya ikut berperan dalam memajukan usaha limbah plastik.
Bahkan, sejak tiga tahun lalu Ninik mengelola sebuah koperasi mikro yang bisa memberikan pinjaman modal usaha bagi para pemulung dan warga biasa dengan bunga sangat rendah. Selain itu, John dan istrinya memberikan pelatihan kewirausahaan kepada pemulung dan warga sekitarnya.
Sumber: Koran sindo
Dapatkan artikel KISAH SUKSES lainnya di Portal Wirausaha Indonesia, silakan klik http://jpmi.or.id/
28 September 2010
02 September 2010
Seberapa Mahal Harga Pekerjaan Anda ?
Pada akhirnya kita semua bekerja untuk merenggut sejumput nafkah. Disana yang segera terbentang adalah berapa penghasilan yang bisa kita bungkus dan bawa pulang setiap akhir bulan tiba. Receh demi receh kita dekap setelah sebulan lamanya kita memeras peluh, berjibaku menggantang pikiran dan menebarkan segenap dedikasi.
Pertanyaannya adalah : apakah gaji atau penghasilan yang kita ringkus setiap bulan demi anak dan keluarga sudah cukup memadai? Apakah jumlahnya sudah sebanding dengan pekerjaan yang hari demi hari kita lakoni dengan sepenuh asa dan pengabdian? Atau sebenarnya berapa sih harga yang paling pantas untuk pekerjaan kita?
Pertanyaan tentang harga sebuah pekerjaan dikenal pula dengan sebutan measuring job value. Inilah sebuah konsep yang hendak memberi informasi mengenai berapa harga yang paling tepat untuk sebuah jabatan. Proses untuk menelisik job value kemudian sering disebut sebagai job evaluation. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar untuk mengevaluasi segenap komponen yang melekat dalam suatu jabatan, dan kemudian menghitung berapa harga yang paling pantas untuk pekerjaan itu.
Untuk melakukan job evaluation, biasanya kita mesti menetapkan dulu sejumlah kriteria baku yang akan digunakan untuk menghitung harga sebuah jabatan. Kriteria ini biasanya berjumlah antara empat hingga lima faktor, dan lazim juga disebut sebagai compensable factors.
Berikut ini akan coba dipetakan contoh empat compensable factors yang acap digunakan sebagai kriteria untuk menilai value sebuah jabatan. Faktor yang pertama biasanya berkaitan dengan aspek kompetensi teknis yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Makin tinggi kualifikasi yang dibutuhkan, tentu makin mahal harga jabatan itu.
Faktor yang kedua adalah job complexity. Aspek ini merujuk pada sejauh mana level kompleksitas yang dibutuhkan dalam mengelola suatu jabatan. Kompleksitas disini mengacu baik pada aspek teknis operasional ataupun dalam aspek konsep dan kedalaman analisa untuk menuntaskan sebuah pekerjaan.
Faktor yang ketiga adalah impact of decisions. Apakah dampak keputusan yang dihasilkan oleh jabatan ini bersifat signifikan dan lintas sektoral ataukah hanya sekedar punya pengaruh yang terbatas? Disini yang diuji adalah seberapa ekspansif dampak keputusan yang dihasilkan oleh sebuah jabatan.
Faktor yang keempat adalah responsibility of others. Disini yang diuji adalah rentang kendali dan tanggung jawab dari suatu jabatan. Apakah ia memiliki jumlah anak buah yang banyak dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang variatif; atau sebaliknya? Dan sampai dimana tingkat otoritas dan tanggungjawab jabatan ini dalam menggerakkan orang lain.
Demikianlah, berdasar empat faktor diatas lantas dihitung nilai setiap jabatan yang ada dalam organisasi; biasanya mewujud dalam skala skor. Masing-masing skala skor ini juga disertai dengan deskripsi yang jelas dan terukur sehingga proses penghitungan menjadi lebih obyektif. Berdasar hasil skor inilah kemudian dipetakan berapa harga setiap jabatan yang ada di organisasi itu. Dari sinilah kemudian akan muncul skala gaji yang berbeda untuk setiap jabatan.
Sejatinya, makin tinggi skor sebuah jabatan tentu akan makin mahal harganya, dan tentu kian besar pula gaji yang bisa dibawa pulang. Meski demikian segera harus dikatakan bahwa hal ini sangat tergantung dengan 1) kondisi keuangan perusahaan dan 2) kebijakan manajamen dan pemilik perusahaan (baca : tergantung pelit tidaknya, atau serakah tidaknya sang pemilik perusahaan).
Tempo hari, salah seorang klien saya bilang kalau gaji Manajer SDM di perusahaannya berkisar pada angka Rp 25 juta per bulan, sementara menurut dia gaji Manajer SDM di perusahaan kompetitor hanyalah sekitar Rp 15 juta per bulan. Padahal kedua perusahaan ini punya bisnis yang sama, skala yang sama, dan job des Manajer SDM di kedua perusahaan itu sama persis. Tentu ini terjadi karena mungkin kondisi keuangan kedua perusahaan itu berbeda, atau mungkin juga pemilik kedua perusahaan itu punya kebijakan yang berlainan. Atau ada kemungkinan yang lain : ini memang sudah suratan takdir (doh!)
Jadi kembali pada pertanyaan judul tulisan ini : apakah pekerjaan Anda sekarang sudah dinilai dengan harga yang pas, atau terlalu murah? Alias di-diskon gede-gedan? Kalau pekerjaan Anda diobral terlalu murah, ya ndak usah terus bersedih dan tenggelam dalam duka lara.
Keep on moving. Have a positive mindset. Sebab esok kan masih ada harapan.
Written by: Yodhia Antariksa
Sumber: strategimanajemen.net
Dapatkan artikel MANAJEMEN lainnya di Portal Wirausaha Indonesia, silakan klik http://jpmi.or.id/
Pertanyaannya adalah : apakah gaji atau penghasilan yang kita ringkus setiap bulan demi anak dan keluarga sudah cukup memadai? Apakah jumlahnya sudah sebanding dengan pekerjaan yang hari demi hari kita lakoni dengan sepenuh asa dan pengabdian? Atau sebenarnya berapa sih harga yang paling pantas untuk pekerjaan kita?
Pertanyaan tentang harga sebuah pekerjaan dikenal pula dengan sebutan measuring job value. Inilah sebuah konsep yang hendak memberi informasi mengenai berapa harga yang paling tepat untuk sebuah jabatan. Proses untuk menelisik job value kemudian sering disebut sebagai job evaluation. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar untuk mengevaluasi segenap komponen yang melekat dalam suatu jabatan, dan kemudian menghitung berapa harga yang paling pantas untuk pekerjaan itu.
Untuk melakukan job evaluation, biasanya kita mesti menetapkan dulu sejumlah kriteria baku yang akan digunakan untuk menghitung harga sebuah jabatan. Kriteria ini biasanya berjumlah antara empat hingga lima faktor, dan lazim juga disebut sebagai compensable factors.
Berikut ini akan coba dipetakan contoh empat compensable factors yang acap digunakan sebagai kriteria untuk menilai value sebuah jabatan. Faktor yang pertama biasanya berkaitan dengan aspek kompetensi teknis yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Makin tinggi kualifikasi yang dibutuhkan, tentu makin mahal harga jabatan itu.
Faktor yang kedua adalah job complexity. Aspek ini merujuk pada sejauh mana level kompleksitas yang dibutuhkan dalam mengelola suatu jabatan. Kompleksitas disini mengacu baik pada aspek teknis operasional ataupun dalam aspek konsep dan kedalaman analisa untuk menuntaskan sebuah pekerjaan.
Faktor yang ketiga adalah impact of decisions. Apakah dampak keputusan yang dihasilkan oleh jabatan ini bersifat signifikan dan lintas sektoral ataukah hanya sekedar punya pengaruh yang terbatas? Disini yang diuji adalah seberapa ekspansif dampak keputusan yang dihasilkan oleh sebuah jabatan.
Faktor yang keempat adalah responsibility of others. Disini yang diuji adalah rentang kendali dan tanggung jawab dari suatu jabatan. Apakah ia memiliki jumlah anak buah yang banyak dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang variatif; atau sebaliknya? Dan sampai dimana tingkat otoritas dan tanggungjawab jabatan ini dalam menggerakkan orang lain.
Demikianlah, berdasar empat faktor diatas lantas dihitung nilai setiap jabatan yang ada dalam organisasi; biasanya mewujud dalam skala skor. Masing-masing skala skor ini juga disertai dengan deskripsi yang jelas dan terukur sehingga proses penghitungan menjadi lebih obyektif. Berdasar hasil skor inilah kemudian dipetakan berapa harga setiap jabatan yang ada di organisasi itu. Dari sinilah kemudian akan muncul skala gaji yang berbeda untuk setiap jabatan.
Sejatinya, makin tinggi skor sebuah jabatan tentu akan makin mahal harganya, dan tentu kian besar pula gaji yang bisa dibawa pulang. Meski demikian segera harus dikatakan bahwa hal ini sangat tergantung dengan 1) kondisi keuangan perusahaan dan 2) kebijakan manajamen dan pemilik perusahaan (baca : tergantung pelit tidaknya, atau serakah tidaknya sang pemilik perusahaan).
Tempo hari, salah seorang klien saya bilang kalau gaji Manajer SDM di perusahaannya berkisar pada angka Rp 25 juta per bulan, sementara menurut dia gaji Manajer SDM di perusahaan kompetitor hanyalah sekitar Rp 15 juta per bulan. Padahal kedua perusahaan ini punya bisnis yang sama, skala yang sama, dan job des Manajer SDM di kedua perusahaan itu sama persis. Tentu ini terjadi karena mungkin kondisi keuangan kedua perusahaan itu berbeda, atau mungkin juga pemilik kedua perusahaan itu punya kebijakan yang berlainan. Atau ada kemungkinan yang lain : ini memang sudah suratan takdir (doh!)
Jadi kembali pada pertanyaan judul tulisan ini : apakah pekerjaan Anda sekarang sudah dinilai dengan harga yang pas, atau terlalu murah? Alias di-diskon gede-gedan? Kalau pekerjaan Anda diobral terlalu murah, ya ndak usah terus bersedih dan tenggelam dalam duka lara.
Keep on moving. Have a positive mindset. Sebab esok kan masih ada harapan.
Written by: Yodhia Antariksa
Sumber: strategimanajemen.net
Dapatkan artikel MANAJEMEN lainnya di Portal Wirausaha Indonesia, silakan klik http://jpmi.or.id/
Subscribe to:
Posts (Atom)